Negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Dari fobia ulat bulu hingga sandiwara pagar laut, dari sumpah jabatan yang dilupakan hingga etika yang terkubur, semuanya menunjukkan bahwa yang rusak bukan hanya sistem, tetapi juga nurani bangsa.
F. Rahardi dalam tulisannya Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu menyoroti bagaimana bangsa ini sering kali panik terhadap hal yang sebenarnya tidak berbahaya. "Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin." Kalimat itu terasa menohok, sebab ketakutan yang berlebihan justru telah menjelma menjadi karakter sosial kita. Kita takut terhadap ulat, terhadap perubahan, terhadap kebenaran, dan terhadap kehilangan kenyamanan.
Ulat bulu yang dianggap hama sebenarnya hanya bagian dari siklus kehidupan. Namun, alih-alih memahami, kita lebih suka memusnahkan. Sama halnya dengan permasalahan bangsa yang kerap diselesaikan dengan menyingkirkan, bukan memperbaiki.
Kita takut terhadap ulat, terhadap perubahan, terhadap kebenaran, dan terhadap kehilangan kenyamanan.
Kasus pagar laut ilegal di pesisir Banten adalah cermin dari kerusakan yang sama, hanya dalam bentuk lain. Editorial Tempo menulis bahwa penyidikan kasus ini seharusnya tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele. Namun yang tampak justru saling tuding, lambannya koordinasi, dan sikap tak tegas antarinstansi. Pemerintah seolah sibuk memainkan perannya masing-masing dalam sebuah sandiwara besar.
Kita semakin terbiasa hidup dalam kebingungan buatan, situasi di mana hal yang jelas dibuat rumit, dan kebenaran dikaburkan oleh kepentingan. Negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru menjadi penonton dalam kisahnya sendiri.
Ketika keadilan diulur-ulur, bukan hanya hukum yang lemah, tetapi juga kepercayaan rakyat yang kian mati perlahan.
Budiman Tanuredjo dalam Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati menulis bahwa etika kini hanya menjadi ornamen. Sumpah jabatan yang dahulu diucapkan dengan janji suci kini terdengar seperti formalitas tanpa makna. Dua puluh tahun pascareformasi, wajah korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih sama. Kita kehilangan sosok-sosok berintegritas, kehilangan suara yang berani mengingatkan bangsa.
Krisis moral ini lebih berbahaya daripada krisis ekonomi. Karena tanpa teladan, hukum, dan kebenaran akan kehilangan pijakan. Sumpah, yang seharusnya menjadi kompas moral, kini hanya tinggal teks kosong di ruang sidang.
Sumpah jabatan yang dahulu diucapkan dengan janji suci kini terdengar seperti formalitas tanpa makna.