Lima Kilometer
Oleh: Aku yang Pernah Terkubur Nafas
"Aku bukan berlari untuk menambah hari-hari dalam hidupku, justru aku berlari untuk menambah hidup dalam hari-hariku". ~Ronald Rook
Satu tahun lalu, ruang ICU menjadi alam semesta baru bagiku. Sepuluh hari. Angka itu terpatri seperti luka bakar di ingatan. Di antara bunyi bip monitor dan desis ventilator, aku mati sebentar. Jantung berhenti. Napas tercekat. Mereka membangkitkanku kembali dari jurang yang gelap dan sunyi, tapi meninggalkan paru-paruku sebagai medan perang. Empyema. Kata itu seperti duri di lidah. Nanah memenuhi rongga dadaku, merenggut napas dan nyawa yang nyaris pergi.
Perawatan di rumah sakit menjadi rutinitas baruku, saat pada akhirnya aku tidak perlu dirawat lagi pun dari rumah sakit bukan berarti bebas. Aku pulang dengan selubung plastik tipis melingkar di telinga, selang kecil menyodok ke hidungku. Oksigen. Napasku yang baru. Tanpanya, dunia berputar, kunang-kunang mengancam di pelupuk mata. Berdiri dari kursi saja seperti mendaki gunung. Kaki-kaki ini, yang dulu lincah, terasa seperti dicor beton. Lima langkah ke kamar mandi adalah ekspedisi. Sepuluh langkah ke teras, pencapaian tertinggi. Dadaku sesak bukan hanya oleh sisa-sisa peradangan, tapi juga oleh beban ketakutan: "Bisakah aku pernah bernapas lega lagi?"
Aku tahu paruku tak akan pernah kembali normal. fungsinya di bawah rata-rata. Dokter bilang ada fibrosis, jaringan parut yang kaku, bekas luka dari perang melawan infeksi. "Hidup normal mungkin," bisiknya, penuh kehati-hatian, "tapi batasi harapan. Olahraga berat... mungkin bukan untukmu."
Kalimat itu menggantung. "Mungkin bukan untukmu." Tapi di dalam dada yang masih sakit itu, sesuatu memberontak. Aku tidak mau hanya "bertahan". Aku ingin "hidup".
Pemulihan dimulai dengan langkah-langkah hina. Lepas oksigen selama lima menit. Lalu sepuluh. Berjalan pelan di halaman, tiga langkah, berhenti, terengah, lanjut lagi. Setiap tarikan napas dalam masih menusuk, mengingatkanku pada kekalahan yang nyaris sempurna. Tapi aku terus melangkah. Pelan. Sakit. Memalukan. Tapi melangkah.
Kemudian, ide gila itu muncul: "Lari." Hanya memikirkannya membuat dadaku berdebar kencang yang bukan dalam arti yang baik. Tapi bayangan itu menggoda. Merasakan angin di wajah, bukan hanya hembusan dingin dari tabung oksigen. Merasakan tanah mendorong balik telapak kakiku. "Merdeka."
Dimulai dengan satu menit. Jogging di tempat. Napas tersengal-sengal, jantung berdebar kencang menakutkan, rasa sakit di sisi kiri dada mengingatkan pada bekas luka yang tak akan pergi. Air mata bercampur keringat. "Bodoh." Tapi besoknya, aku mencoba lagi. Dua menit. Jalan cepat hingga lari kecil mengelilingi blok rumah. Lima puluh meter. Seratus. Hingga satu lagu penuh di treadmill.
Setiap hari adalah pertempuran kecil melawan tubuhku sendiri. Melawan rasa takut. Melawan kata-kata dokter yang terus bergema. Melawan napas pendek yang selalu mengintai. Tapi aku fokus pada satu hal: "Kualitas hidup." Aku ingin merasakan darah mengalir deras, otot bekerja seperti masa lalu, paru-paru yang cacat itu dipaksa "berjuang" untukku, bukan melawanku. Aku tidak peduli pada angka spirometri. Aku peduli pada sensasi udara segar memenuhi rongga dadaku, meski tidak pernah benar-benar penuh.
Bulan berganti bulan. Lima puluh meter menjadi seratus. Seratus menjadi lima ratus. Lalu satu kilometer. Rasanya seperti berlari dengan kantong pasir di dada. Setiap kilometer adalah kemenangan. Sakit? Ya, masih ada. Seperti pisau tumpul menggesek bekas luka di paru-paru kiri saat aku menarik napas dalam-dalam. Tapi rasa sakit itu berbeda sekarang. Bukan tanda kematian, tapi tanda kehidupan. Bukti bahwa aku masih bisa merasakan. Bukti bahwa aku "bergerak".