Banyak sekali yang ingin saya ketahui mengenai topik yang satu ini, dan topik ini memang kompleks. Setelah konsultasi dengan seorang psikolog, saya akan mencoba menjelaskan dengan pendekatan ilmiah dan non-diskriminatif, berdasarkan pemahaman profesional dan konsensus komunitas medis serta psikologi global.
Apakah itu LGBTQ+?
LGBTQ+Â adalah sebuah akronim yang merujuk pada sekelompok identitas orientasi seksual dan gender. Mari kita pecah satu per satu:
- Lesbian: Wanita yang secara emosional, romantis, dan/atau seksual tertarik pada wanita lain.
- Gay: Pria yang secara emosional, romantis, dan/atau seksual tertarik pada pria lain.
- Bisexual: Seseorang yang tertarik pada pria dan wanita.
- Transgender: Seseorang yang identitas gendernya berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. Ini berbeda dari orientasi seksual.
- Queer: Istilah umum yang digunakan oleh individu yang tidak mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual atau cisgender.
- + (Plus): Meliputi berbagai identitas lain, seperti interseks (kondisi biologis yang memiliki karakteristik fisik laki--laki dan perempuan) dan aseksual (tidak merasakan ketertarikan seksual).
Asal dan Sejarah
Konsep ketertarikan sesama jenis dan identitas gender yang berbeda bukanlah fenomena baru. Sejarah menunjukkan keberadaan individu dengan orientasi dan identitas ini di berbagai budaya kuno, seperti Yunani, Romawi, dan beberapa suku asli Amerika.
Namun, istilah dan gerakan sosial modern baru muncul pada abad ke-20.
- Awal Abad ke-20: Penelitian ilmiah pertama mulai muncul, meskipun sering kali memandang homoseksualitas sebagai "penyimpangan."
- 1960-an: Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat memicu gerakan serupa untuk komunitas gay. Peristiwa kerusuhan Stonewall pada tahun 1969 di New York, yang menentang razia polisi, dianggap sebagai titik balik penting dalam perjuangan hak-hak LGBTQ+.
- 1970-an: Organisasi psikologi dan medis besar, seperti American Psychiatric Association (APA), secara resmi menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit mental. Keputusan ini didasarkan pada riset yang menunjukkan bahwa homoseksualitas itu sendiri tidak terkait dengan gangguan mental atau fungsi sosial yang buruk.
Apakah Ini Penyakit atau Kelainan?
Berdasarkan konsensus komunitas medis dan psikologi global, termasuk APA, World Health Organization (WHO), dan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia), orientasi seksual dan identitas gender LGBTQ+ bukanlah suatu penyakit, kelainan, atau gangguan mental.
Riset selama puluhan tahun menunjukkan bahwa:
- Tidak ada bukti ilmiah yang kuat bahwa orientasi seksual atau identitas gender dapat "disembuhkan" atau "diubah."
- Upaya untuk mengubah orientasi seksual (terapi konversi) sering kali terbukti berbahaya dan dapat menyebabkan depresi, kecemasan, bahkan bunuh diri.
- Kondisi kesehatan mental yang kerap dialami oleh individu LGBTQ+ (misalnya, depresi atau kecemasan) sering kali bukan disebabkan oleh orientasi atau identitas mereka, melainkan oleh stigma, diskriminasi, dan penolakan sosial yang mereka hadapi.