Indonesia tengah dihadapkan pada babak baru dalam upaya pemberantasan korupsi dengan terungkapnya dua megaskandal yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah: kasus timah dan kasus minyak goreng. Kasus-kasus ini bukan sekadar berita, melainkan cerminan dari kompleksitas praktik korupsi yang merusak sendi-sendi ekonomi dan keadilan bangsa.
Mari kita bedah lebih dalam kronologi, fakta-fakta, dan data aktual yang terupdate agar pembaca bisa memahami akar permasalahan dan dampaknya.
1. Kasus Korupsi Tata Niaga Timah PT Timah Tbk (2015-2022)
Ini adalah kasus korupsi dengan taksiran kerugian lingkungan terbesar dalam sejarah Indonesia, mencapai angka yang sulit dibayangkan.
Kronologi Singkat & Modus Operandi:
Kasus ini berpusat pada dugaan penyalahgunaan wewenang dan manipulasi tata niaga timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk selama periode 2015-2022.
- Awal Mula: Para tersangka diduga bekerja sama untuk mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di dalam IUP PT Timah. Mereka membuat perjanjian kerja sama fiktif dengan swasta untuk pengadaan bijih timah, seolah-olah penambangan dilakukan secara resmi oleh PT Timah.
- Manipulasi & Mark-up Harga: Hasil bijih timah ilegal ini kemudian dijual kembali ke PT Timah dengan harga yang dimanipulasi (mark-up) atau diproses menjadi timah batangan di smelter-smelter swasta yang beroperasi tanpa izin.
- Peran Petinggi & Pengusaha: Keterlibatan sejumlah petinggi PT Timah, pemilik smelter swasta, hingga figur publik disinyalir menjadi kunci keberhasilan praktik ilegal ini. Mereka diduga mengatur agar bijih timah dari penambangan ilegal dapat dilegalkan dan masuk ke sistem resmi PT Timah, atau bahkan diekspor secara tidak sah.
- Dampak Lingkungan: Kegiatan penambangan ilegal ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif di Bangka Belitung, yang nilai kerugian ekologinya menjadi komponen terbesar dalam perhitungan kerugian negara.
Fakta-fakta & Data Aktual Terupdate:
- Total Kerugian Negara: Berdasarkan perhitungan ahli lingkungan dari IPB, Prof. Bambang Hero Saharjo, total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 271 triliun. Angka ini mencakup kerugian keuangan negara akibat selisih harga jual timah ilegal dan biaya pemulihan lingkungan. Beberapa sumber juga menyebut angka pembulatan Rp 300 triliun.
- Jumlah Tersangka: Hingga Juni 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan total 22 orang sebagai tersangka. Beberapa nama yang menjadi sorotan publik antara lain:
- Harvey Moeis (HM): Perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT), suami dari artis Sandra Dewi. Divonis 20 tahun penjara di tingkat banding.
- Helena Lim (HLN): Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE), dijuluki crazy rich PIK.
- Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT): Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021.
- Emil Ermindra (EE): Mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk 2017-2018.
- Bambang Gatot Ariyono (BGA): Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM periode 2015-2022.
- Serta sejumlah direktur perusahaan smelter, komisaris, dan pejabat terkait lainnya.
- Tersangka Korporasi: Kejagung juga menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka korporasi dalam kasus ini.
- Tahapan Hukum: Kasus ini masih dalam proses persidangan. Beberapa terdakwa telah divonis di pengadilan tingkat pertama, dan beberapa sedang dalam proses banding. Kejagung terus berupaya agar aspek kerugian lingkungan dapat diakomodir dalam putusan pengadilan.
2. Kasus Korupsi Ekspor Crude Palm Oil (CPO) / Minyak Goreng (Wilmar Group dkk.)
Kasus ini mengungkap adanya mafia minyak goreng dan kerugian negara yang signifikan akibat penyalahgunaan fasilitas ekspor.
Kronologi Singkat & Modus Operandi:
Kasus ini berawal dari kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di Indonesia pada awal tahun 2022, yang kemudian diinvestigasi oleh Kejaksaan Agung.
- Manipulasi Fasilitas Ekspor: Kasus ini melibatkan tiga grup korporasi besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
- Persekongkolan: Mereka diduga melakukan persekongkolan jahat dengan oknum pejabat Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan fasilitas persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya secara ilegal, yang bertentangan dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang seharusnya diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri.
- Dugaan Suap: Terungkap juga adanya dugaan suap kepada aparat peradilan untuk memuluskan vonis lepas terhadap korporasi yang menjadi terdakwa di tingkat pertama.