Pernikahan, dalam pandangan saya sebagai seorang pengamat kehidupan, adalah sebuah perjalanan spiritual dan emosional yang mendalam, bukan sebuah panggung sandiwara yang dipertontonkan untuk publik atau sekadar "permainan" memenuhi ekspektasi sosial. Ironisnya, banyak yang masuk ke dalamnya dengan motivasi yang keliru: mencari kestabilan finansial dari harta orang tua, atau mengejar kesempurnaan paras yang fatamorgana.
Saya ingatkan, harta warisan bisa habis jika tidak dikelola dengan karakter manajemen yang benar. Sebuah pohon uang bisa tumbang jika akarnya tidak kuat. Demikian pula dengan paras; ia hanyalah kulit luar yang akan berkerut seiring waktu. Kecantikan sejati datang dari dalam, dari kepribadian yang matang dan hati yang tulus.
Yang terpenting adalah kejujuran pada diri sendiri. Jika karakter pasangan sudah terasa red flag sejak awal -- apakah itu ketidakjujuran, sifat temperamental, atau ketidakmampuan berkomunikasi -- jangan pernah menipu diri sendiri dengan harapan ia akan berubah setelah menikah. Itu adalah tindakan "main Tuhan" yang naif dan seringkali berujung pada kekecewaan mendalam. Perubahan sejati datang dari kesadaran diri sendiri, bukan karena paksaan atau ekspektasi orang lain.
Setiap individu wajib selesai dengan dirinya sendiri; berdamai dengan masa lalu, memiliki kematangan emosional untuk mengelola perasaan, serta memiliki visi hidup yang jelas. Baru setelah itu, kita bisa menawarkan diri seutuhnya dalam sebuah hubungan. Jangan pernah takut akan label "perawan tua" atau "bujangan lapuk" karena usia. Ketakutan terbesar seharusnya adalah terjebak dalam pernikahan yang hampa karena ketidakcocokan karakter, kurangnya ketenangan batin, dan kematangan emosional yang tak stabil. Carilah pasangan yang melengkapi, bukan yang harus kita "perbaiki".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI