Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Api di Bumi Mataram - Sebuah Catatan

25 Oktober 2012   08:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:24 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanah Mataram mungkin masih membara tetapi bara itu
semakin kecil dan tidak menyebar ke mana-mana, karena sang raja tampaknya sudah
mau menerima ketika dilantik menjadi ‘gubernur’ dan bukannya ‘raja’. Yogyakarta
tentu saja memang daerah istimewa karena dia berada dalam haribaan tanah
pertiwi Indonesia yang jelas jauh lebih istimewa. Namun yang lebih penting lagi
adalah tugas utama raja. Memastikan bahwa rakyatnya aman makmur adil sejahtera
dan sentosa. Inilah tugas utama raja, bukan berseteru untuk jabatan dan kuasa,
apalagi jika seterunya bermotifkan harta.< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />

 

Daerah Istimewa Yogyakarta sudah ada payung hukumnya.
Tidak perlu ada pilkada untuk memilih pimpinannya. Sudah ada penguasa keraton,
sudah ada penguasa kadipaten. Kalau boleh mundur ke belakang, sudah ada ‘raja
dan patihnya’. Raja dan patih inilah yang akan memerintah dan mengelola Yogya
agar rakyat makmur sentosa.

 

Langit Yogya sudah sejuk dan tenang seperti sediakala.
Tidak ada lagi teriakan minta merdeka, karena mereka memang telah merdeka.
Bahkan jika sejarah jadi rujukannya, kapan sih Yogyakarta itu pernah menjadi
tanah jajahan? Belum pernah, kan? Dan memang belum pernah. Nusantara memang
pernah dijajah, tetapi Yogya? Tidak ada catatannya tuh! Entah ini memang siasat
Belanda, entah karena memang takdirnya, tetapi yang jelas Yogya memang tidak
pernah menjadi tanah jajahan. Yogya sudah merdeka sejak jaman dulu. Dan
sekarang pun Yogya masih merdeka.

 

Semua ‘kawula alit’ kembali bergiat seperti biasa. Di
tata pemerintahan memang ada sedikit perubahan. Istilah provinsi ‘hilang’.
Sebagai gantinya cukup daerah. Konsekwensinya istilah gubernur juga hilang,
yang tersisa ‘kepala daerah’. Yah ... raja dan patih dalam kesultanan dan
kepatihan, kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam tata pemerintahan. Waktu
berubah, manusia juga ikut berubah. Penyesuaian diperlukan di mana-mana. Sementara
itu titah dan sabda sang raja tetap akan dicatat dalam sejarah, sebagai
‘tetenger’ bahwa dalam era dunia maya, titah dan sabda itu masih ada dan masih mempunyai
perbawa. Cuma seberapa hebat perbawanya biarlah para ahli yang menelisiknya.

 

Jika di Mataram api merdeka sudah berubah menjadi bara,
dan baranya semakin meredup saja, tetapi yang di Papua tampaknya masih berkobar
menyala-nyala. Teriakan Papua Merdeka masih terdengar bersahutan di mana-mana.
Ibu Pertiwi tentu saja tidak senang hati. Papua adalah anaknya juga. Jika
perhatian yang adil dan lebih merata diberikan secara tulus oleh yang memegang
kendali atas ‘dana negara’, mungkin teriakan ingin merdeka akan segera berganti
dengan ‘kami telah merdeka di tahun 1945’, walau sejarah juga mencatat Papua
harus direbut dari Belanda beberapa tahun berikutnya.

 

Semoga  dalam bulan
Sumpah Pemuda ini seluruh pemuda di Nusantara, termasuk yang di Papua sana,
tidak hanya samar-samar ingat akan sumpah kakak-kakak mereka, bahwa semuanya
satu jua, tetapi juga benar-benar membawanya ke dunia nyata. Papua kalian juga
adalah saudara, saudara sebangsa, setanah-air, dan sebahasa. Bangsa yang damai,
tanah yang damai, bahasa yang damai. Merdeka pemuda ... merdeka Indonesia ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun