Essi 111 - BBM Gratis dan Subsidi pun Tak Perlu Lagi
Tri Budhi Sastrio - Kasidi
April Mob akan segera tiba dan perbincangan mengenai
BBM makin menjadi-jadi,
Silat lidah, adu teori dan argumen, bahkan juga saling
ancam bak sarapan pagi,
Selalu ada dan disuguhkan pada siapa saja, tidak penting
dia paham atau peduli,
Pokoknya persis seperti sarapan pagi yang perintahnya
jelas dari mami dan papi,
Harus dimakan sebelum pergi, dan tidak boleh ada kata
tetapi, karena jika nanti
Sakit lagi gara-gara menolak makan pagi kan mami dan
papi juga yang bakal rugi.
Hati khawatir, perasaan tidak tenang, harus ke dokter
dan kocek pun dirogoh lagi.
Singkat kata makan pagi tidak saja harus dinikmati
tetapi juga menjadi harga mati.
Argumen pemerintah naikkan BBM sangat sederhana,
untuk menghemat subsidi,
Yang katanya lebih banyak dinikmati oleh kaum
berdasi sedangkan para petani
Dan yang sejenisnya, ah mereka kan lebih sering
naik pedati daripada mitsubishi.
Lalu untuk apa yang berdasi diberi subsidi, sedangkan
mayoritas anak negeri ini
Kalau bukannya miskin sekali toh biasanya naik mobil
tidak pernah setiap hari,
Itupun jelas bukan mobilnya sendiri, kalau bukannya
milik damri ya berjalan kaki.
Dengan argumen sederhana tetapi dianggap sangat
mengena pemerintah beraksi
Kurangi subsidi, naikkan BBM sekali lagi, dan jika
ada protes serta demonstrasi,
Lho itu kan urusannya para polisi, memangnya untuk
apa mereka semua digaji
Plus diberi renumerasi kalau bukannya meredam suara
para pelaku demonstrasi?
Singkat kata pemerintah merasa sudah beres, rakyat
siap beli BBM tanpa subsidi.
Lalu bagaimana dengan perwakilan anak negeri yang
meskipun sering korupsi,
En toh tetap jadi harapan menyuarakan rintihan
ketidakadilan di seluruh negeri?
Tentu saja banyak yang dengan berang garang menolak
eksekusi semacam ini,
Apa-apaan ini, begitu mereka berteriak sambil unjuk gigi,
mereka perlu subsidi.
Cuma mungkin saja mereka lupa bahwa dulu ketika
partainya yang duduk kursi,
Eh BBM juga dinaikkan berkali-kali walaupun dengan
alasan yang sangat pasti.
Kalau kami dulu karena memang harga minyak di ini
negeri sangat murah sekali,
Kalau tidak dinaikkan bukankah ini sama halnya dengan
menghina diri sendiri?
Perwakilan anak negeri lainnya memang beda teori
tetapi namanya manipulasi,
Ya tetap saja tidak dilakukan setulus hati, mereka
mainkan hati, mata dan jari,
Kalau ada kompensasi bukan hal yang sulit ikut serta
memberikan rekomendasi.
Yah ... dasar otak bejat dan hati penuh onak korupsi
beginilah jadinya ini negeri.
Tidak ada yang harga mati, semua bisa dinegosiasi
asal ininya bukan kartu mati.
Waktu berkata 'ininya' tiga jari bergerak ke sana
ke mari seperti sedang menari.
Begitulah para cerdik pandai di seluruh negeri bersilat
lidah dan argumentasi,
Intinya BBM perlu banyak disubsidi ataukah semakin
hari semakin dikurangi.
Mereka lupa bertanya kepada local genius yang
dianggap pengamat kelas teri,
Karena orang-orang yang seperti ini tempatnya
memang bukan di kursi-kursi,
Yang kalau sudah duduk lalu lupa berdiri, mereka ada
di tempat-tempat sepi,
Kadang kala harus menyendiri karena memang tidak
tega hati melihat sendiri
Bagaimana para petani dan kaumnya dikelabui,
mereka tidak mempunyai kursi,
Tetapi mereka lapang hati, tajam nurani, peka intuisi,
kaya imajinasi, cinta puisi,
Mereka sebenarnya lebih tahu pasti bagaimana
seharusnya mengurus ini negeri.
Beri kami tiga matahari dan akan kami buat ini negeri
ini sejahtera dan mandiri.
Tetapi ... yah tetapi ... mana ada yang mau
mendengarkan para penulis puisi,
Yang hanya penuh dengan imajinasi, miskin teori,
tetapi kami gudangnya inovasi,
Ah itu kan hanya ilusi, bagaimana mau mengurus
negeri jika hanya tulis puisi?
Para pengamat kelas teri yang jauh-jauh hari sudah
divonis amat miskin teori
Hanya bisa menatap matahari dan berbisik lirih
'mengapa sih meributkan subsidi
Bukankah yang dari tanah, air dan bumi, semuanya
memang milik anak negeri,
Berikan semuanya pada kami dan selebihnya biarkan
kami mengatur sendiri.
Kalau damri, bemo, atau taksi tidak memerlukan uang
waktu tangki BBM-nya diisi,
Kan tidak ada alasan mereka memasang tarif tinggi,
dan jika saja transportasi
Biayanya murah sekali, memangnya yang lain tidak
akan ikut riang berseri-seri,
Lalu penghasilan meninggi, taraf hidup persis mentari
pagi, naik lalu meninggi,
Sementara pendapatan dari pajak konsumsi otomatis
akan juga menjulang tinggi.
Uang yang biasanya didapat dari penjualan BBM
yang dikonsumsi eh dapat ganti,
Bahkan jauh lebih banyak lagi karena semua orang
dengan wajah riang berseri-seri
Pergi ke kantor pajak melaporkan semua penghasilan
diri pribadi dan hi ...hi ...hi ...
Yang namanya subsidi tak perlu diributkan lagi karena
BBM tidak perlu bayar lagi,
Semua digunakan untuk kepentingan kesejahteraan
anak negeri, di tanah sendiri.
Inilah inovasi kaya imajinasi yang dituangkan dalam
sebuah essi -- esai dalam puisi,
Tidak menggunakan teori ekonomi atau konsep subsidi
yang muluk dan tinggi-tinggi
Bagikan gratis semua yang berasal dari tanah, air dan
bumi, selebihnya sudah pasti
Akan berjalan sendiri dan apresiasi ke pemerintah
negeri bukan saja akan meninggi
Tetapi juga akan dilakukan dengan wajah berseri-seri ...
nol rupiah BBM bukan rugi
Tetapi malah mendatangkan rejeki bagi seluruh negeri
dan kontroversi bagi subsidi Â
Sudah pasti akan menghilang dengan sendiri laksana
embun kena sapa mentari pagi
Tetap lembut dan sejuk sementara kilaunya akan
 teringat jelas selama berhari-hari.
Pertanyaannya beranikah pimpinan tertinggi mencoba
imajinasi kreasi dan inovasi,
Yang disodorkan pengamat kelas teri, yang tidak
mempunyai kursi, senang berdiri,
Tetapi tak lagi suka menyendiri karena petinggi
negeri sudah berhenti mengelabuhi.
Sejahteralah inovasi kreasi dan imajinasi yang
dituangkan dalam essi tanpa subsidi.
Arena praktis berkabut bunga padi, karena BBM
gratis maka tak perlu ribut subsidi.
Essi 111 - tbs/poz/kas -- SDA15032012 -- 087853451949
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI