Patroli penjaga hutan yang mengadakan pemeriksaan beberapa bulan sekali, menemukan seorang laki-laki meninggal kaku dengan sikap bersila di tanah. Di tangannya tergenggam sebatang pena. Sedangkan di hadapannya tergeletak berpuluh-puluh lembar kertas penuh tulisan.
Keadaan udara yang dingin, membuat mayat yang telah beberapa hari itu tetap utuh dan baik. Patroli hutan melapor, serombongan petugas dikirim. Ketika para penyidik membaca tulisan-tulisan di kertas, mereka kaget. Inilah buah karya besar seorang sastrawan. Dia menulis dan menulis sampai mati. Cuma kematian yang mampu menghentikan tulisan yang belum selesai itu.
Secara beranting, laporan itu akhirnya sampai juga di pusat. Pemeritah pusat tertarik dan memutuskan untuk menerbitkan buku itu secara besar-besaran. Puisi Rumah Bambu telah berhasil mewakili penulisnya, mendapat perhatian, dan ... mudah-mudakan ini bukan sekedar harapan tetapi mampu menyadarkan semua manusia betapa salah dan kelirunya tindakan mereka selama ini, merusak dan memperlakukan alam dengan semena-mena.
Puisi Rumah Bambu, engkau adalah lambang keindahan dan kekerasan tekad. Semoga engkau berhasil dan untuk engkau yang telah kembali menghadap Sang Pencipta, karyamu yang ini akan dibaca dan dikagumi semua orang. Puisi Rumah Bambu namamu akan abadi seabadi guratan terakhirmu yang meneriakkan dengan lantang ... Aku akan selalu setia padamu wahai manusia, karena tanpa aku tak mungkin ada dirimu (R-SDA-12032021-087853451949)