Hentikan ulahmu, hai manusia? Itu isinya, tetapi yang jelas tidak cocok untuk sebuah judul. Beberapa macam judul lagi, bergantian muncul dalam benak sastrawan itu tetapi semuanya tidak terasa tidak cocok!
"Hai, tolol benar aku!" serunya tiba-tiba. "Ha, ha, ha ... mengapa tidak pernah terlintas dalam pikiranku sejak tadi ...," katanya pada dirinya sendiri sambil tertawa girang. "Judul begitu indah, yang tersedia sejak tadi, kulewatkan begitu saja, sementara judul-judul tidak berguna muncul di pikiran ini. Benar-benar tolol ...."
Dengan guratan indah bertenaga, mulailah laki-laki itu menggoreskan penanya. "Puisi Rumah Bambu". Judul yang indah, mengandung sejuta makna.
"Akan kubuat engkau menjadi puisi terpanjang yang pernah di buat orang. Akan kutelanjangi semua tindakan tolol yang mereka lakukan itu ... ha ha ha ..." Laki-laki itu tertawa lepas bebas, gembira dan bahagia.
Enam bulan kemudian, sebuah penerbit terkenal di Ibu Kota, mendahului penerbitan sebuah bukunya dengan iklan-iklan besar.
"Kenalilah diri anda dengan membaca buku ini."
"Seorang Sastrawan mengorbankan dirinya demi mengingatkan kita semua."
"Akankah pengorbanannya kita sia-siakan, dengan membiarkan buku ini tergeletak begitu saja tanpa dibaca?"
"Alam selalu penuh pengertian dan kasih sayang, tiba waktunya bagi kita semua untuk lebih memahami hal ini dengan bertindak nyata!"
Dan masih banyak iklan menggelitik lainnya yang diluncurkan mendahulu peluncuran sang buku. Judul buku itu sendiri, PUISI RUMAH BAMBU, memang sudah menawarkan nuansa yang  puitis.  Di bawah judul, dengan kalimat yang berhuruf lebih kecil tertera kata-kata seperti berikut PENGURBANAN SEORANG SASTRAWAN MUDA UNTUK KITA SEMUA.
Dalam kata pengantar buku itu, tentu saja bisa dibaca setelah buku itu terbit, memperjelas apa dan bagaimana buku itu bisa diterbitkan.