Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Puisi Rumah Bambu

13 Maret 2021   05:45 Diperbarui: 13 Maret 2021   06:12 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wikiart.org/abdullah-suriosubroto

Puisi Rumah Bambu
Tri Budhi Sastrio

Tubuhku penuh luka,
Karena engkau, wahai manusia! 

Lereng Gunung Lawu terlihat sepi.

Selain rimba kecil di sana sini, tidak ada hal lain yang menarik pada kawasan itu. Beberapa abad yang lalu mungkin daerah itu merupakan daerah yang nyaman dan indah, dan mungkin juga subur tetapi sejak manusia mulai mengerti cara merusak alam secara lebih efisien, mulailah segala kenyamanan, keindahan, dan kesuburan itu menghilang.

Punggung bukit yang tadinya hijau mulai botak-botak. Ketika perpuluh tahun berlalu, bukannya kebotakan itu diperbaiki tetapi malah ditambah semakin parah oleh tingkah kelompok manusia berikutnya. Memang mengherankan tetapi itulah kenyataannya!

Sekarang, di antara kebotakan-kebotakan itu, sebuah rumah, yang entah mendapat ijin dari siapa, tiba-tiba saja berdiri di situ. Rumah ini terbuat dari bambu. Seluruhnya dari bambu, kecuali lantainya. Dari jauh, terlihat seperti sesuatu yang aneh mencuat sendirian. Bagaimana tidak akan terasa aneh, kalau ditempat yang sebelumnya sama sekali tidak berpenghuni tiba-tiba saja muncul sebuah rumah?

Tidak sebagai mana lazimnya sebuah rumah, rumah bambu itu tidak mempunyai kamar. Yang ada cumalah satu ruangan besar, dari muka ke belakang. Penghuninya, atau lebih tepat pemiliknya seakan-akan khawatir tidak bisa bergerak leluasa dalam rumahnya kalau diberi kamar-kamar.

Jendela rumah mungkin tergolong jendela paling primitif yang pernah dibuat manusia. Tidak ada daun jendela. Yang ada cumalah lubang. Lubang kosong menganga, siap menyalurkan udara dingin dari luar.

Sebuah bale-bale kecil, juga terbuat dari bambu, ada di sana. Bale-bale memang biasanya terbuat dari bambu. Jarang ada bale-bale terbuat dari kayu jati. Jika dibuat dari kayu jati maka berubah menjadi dipan atau ranjang, dan pasti bukan bale-bale. Bale-bale kecil ini tergeletak kesepian di sudut ruangan. Tidak ada yang menarik dengannya, kecuali keberadaannya di tempat itu.

Sebuah benda, betapa pun sederhananya tetapi bila tergeletak sendirian di sebuah ruang yang begitu luas, pasti menimbulkan rasa aneh. Umpamanya saja, mengapa benda itu yang menjadi pengisi ruangan dan bukan benda yang lain? Mungkin ini neh tetapi setidak-tidaknya itulah salah satu pertanyaan yang akan muncul dalam benak seseorang yang melihat keadaan ruangan itu untuk pertama kalinya.

Seorang laki-laki, tiba-tiba saja muncul seperti silhuet aneh. Bayangan tubuhnya, terlukis memanjang di lantai. Matahari pagi yang memancar cerah membantu laki-laki itu melukis lantai rumah dengan bayangan tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun