Suatu pagi di sebuah SMA, seorang siswa diminta menulis esai tentang globalisasi. Alih-alih membuka buku, ia mengetikkan perintah di ChatGPT. Dalam hitungan menit, esai lengkap tersaji. Gurunya butuh seminggu untuk memberi komentar, sementara AI memberi jawaban instan, kapan saja, tanpa lelah. Pertanyaan pun menggantung: apakah sekolah formal masih relevan?
AI Jadi Guru Bayangan
Generasi Z lahir di era digital, terbiasa mencari solusi cepat. AI hadir sebagai "guru bayangan" yang setia: mampu menjelaskan berbagai materi, menyesuaikan gaya belajar, dan tersedia 24 jam. Fenomena ini memikat siswa sekaligus mengkhawatirkan pendidik.
Mengapa Generasi Z Memilih AI?
1. Cepat & Efisien: AI menyajikan jawaban instan, sekolah penuh prosedur.
2. Personalisasi: AI bisa menjelaskan rumus dengan cara berbeda sesuai kebutuhan.
3. Akses Global: di desa maupun kota, selama ada internet, "guru digital" bisa hadir.
4. Relevansi Praktis: AI membantu coding, desain, hingga ide bisnis. Kurikulum formal sering tidak menyentuh keterampilan ini.
Sekolah Tetap Punya Nilai
Meski AI unggul secara praktis, sekolah punya hal yang tak tergantikan:
- Karakter & Moral: hanya manusia bisa menanamkan empati.
- Interaksi Sosial: sekolah mengajarkan hidup bersama.
- Identitas & Budaya: pendidikan formal berperan mewariskan nilai bangsa.
Sekolah ada di persimpangan: tetap dengan cara lama dan ditinggalkan, atau bertransformasi dan memanfaatkan AI.
Data & Tren Terkini
Pandemi COVID-19 menjadi titik balik. Banyak siswa merasa lebih efektif belajar mandiri lewat platform daring dibanding kelas online yang monoton. Survei Deloitte Global 2025 juga menunjukkan mayoritas Gen Z Indonesia lebih mengutamakan kesempatan belajar di tempat kerja ketimbang mengejar ijazah formal. Mereka mendambakan keterampilan nyata: kreativitas, komunikasi, literasi digital.
Data ini memperlihatkan jelas: jika sekolah tak berubah, generasi ini akan semakin meragukannya.
AI: Musuh atau Mitra?
Menutup akses AI jelas mustahil. Lebih realistis bila sekolah merangkul AI sebagai mitra:
- Guru Plus AI: guru mengarahkan, AI membantu menyediakan materi.
- Kurikulum Adaptif: AI bisa menganalisis kebutuhan siswa secara personal.
- Beban Guru Berkurang: AI mengurus laporan administratif, guru fokus mendidik.
Langkah Konkret
1. Reformasi Kurikulum: sisipkan critical thinking, kreativitas, dan etika digital.
2. Pelatihan Guru: agar guru paham cara memanfaatkan AI, bukan melawannya.
3. Kolaborasi Industri: buka ruang magang dan proyek nyata.
AI mungkin mampu menulis esai atau menyelesaikan soal matematika, tetapi tidak bisa menanamkan empati, nilai moral, dan kebijaksanaan. Generasi Z tidak membenci sekolah, mereka hanya ingin pendidikan yang relevan.
AI bukan ancaman, kecuali jika sekolah menolak berubah. Jika sekolah berani menjadikannya mitra, pendidikan justru akan memasuki babak baru. Pertanyaannya tinggal satu: apakah sekolah siap?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI