Babad Onje: Di Bawah Suhunan Plered -- Depopulasi dan Bayang Perang Trunajaya
Pagi yang dingin di tepi Sungai Klawing, tanah Onje mungkin pernah hening. Sawah-sawah terbentang, tetapi banyak lahan dibiarkan kosong. Rumah-rumah berjauhan, desa terasa lengang. Tidak ada catatan suara ratapan, hanya satu kalimat pendek dalam naskah kuno yang seakan berbicara:
"Cacah Onje kabukten kawula tigang lawe den cacah kepanggih kawanatus."
Dari awalnya 200 mardika --- sekitar 800 jiwa saat didirikan di masa Pajang --- kini hanya tinggal tigang lawe, sekitar 300--400 orang. Angka ini membuat kita bertanya: apa yang telah terjadi dengan Onje di masa itu?
Dari 200 Mardika ke Tigang Lawe
Ketika Sultan Hadiwijaya (Pajang) memberikan tanah kepada Kiyai Ageng Ore-ore sebagai hadiah pernikahan, naskah mencatat:
"Lan sira, manira paringi bumi karya rongatus mardika..."
Dalam administrasi Jawa, 200 mardika berarti 200 cacah bebas pajak. Jika satu cacah mewakili 4 jiwa, populasi awal Onje sekitar 800 orang --- jumlah wajar untuk sebuah kadipaten baru.
Beberapa generasi kemudian, di masa Amangkurat I (Suhunan Plered), naskah yang sama mencatat:
"...den cacah Onje kabukten kawula tigang lawe den cacah kepanggih kawanatus."