Antara Pahala dan Harga: Dua Wajah Idul Adha yang Tak Selalu Seimbang
Catatan untuk Pedagang Hewan Kurban Musiman
Idul Adha selalu datang membawa gema spiritual yang dalam. Peristiwa besar yang mengajak kita mengenang puncak ketundukan seorang Nabi terhadap Tuhannya. Ibadah kurban bukanlah urusan potong hewan belaka, melainkan ikhtiar untuk memotong ego, keserakahan, dan rasa memiliki terhadap sesuatu yang hakikatnya bukan milik kita.
Namun di balik gemerlap nilai-nilai itu, ada satu fenomena yang terus berulang: semangat berkorban tak selalu hadir di pasar hewan kurban.
Para pedagang---banyak di antaranya pedagang musiman---berbondong-bondong membuka lapak. Mereka bukan sekadar menawarkan kambing dan sapi, melainkan juga memajang hitung-hitungan laba yang luar biasa. Di tengah lautan niat baik dari mereka yang ingin menjalankan ibadah, ada pula gelombang kalkulasi untung yang tak kenal batas.
Harga melonjak tinggi bukan karena ongkos produksi atau pakan, tetapi karena euforia momen. Beberapa bahkan terang-terangan menaikkan harga berlipat dari bulan sebelumnya, seolah-olah Idul Adha adalah ajang "panen raya" bukan bagi pahala, melainkan pundi-pundi pribadi.
Apakah salah mencari untung? Tentu tidak. Islam tak pernah melarang berdagang. Bahkan Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang yang sukses. Tapi yang membedakan adalah: beliau berdagang dengan amanah. Ada adab, ada empati, ada rasa cukup.
Yang mencemaskan dari wajah sebagian pedagang hari ini adalah saat hilangnya rasa cukup itu. Ketika semua semata-mata dikejar demi margin keuntungan, apa bedanya antara pasar hewan kurban dan pasar saham? Di mana letak ruh pengorbanan itu?
Ironisnya, di sisi lain, ada pembeli yang datang dengan harapan besar. Bisa jadi, ini satu-satunya tahun dia mampu berkurban. Mungkin baru tahun ini keuangan memungkinkan. Tapi harapan itu bisa saja harus ditebus dengan harga yang menggunung. Mereka tetap membeli, meski terpaksa, demi bisa merasakan nikmatnya ibadah yang dicontohkan Nabi Ibrahim.