Jalur Pantura pernah menjadi jalur yang padat saat musim mudik lebaran, kendaraan yang melintas di jalan nasional ini pernah disebut sebagai yang tersibuk di negeri ini. Saking banyaknya volume kendaraan yang melintas acap kali jalanan menjadi rusak dan bergelombang, bahkan ada adigium bahwa Pantura menjadi proyek abadi karena saban tahun selalu ada perbaikan jalan terlebih menjelang waktu mudik lebaran.
Saat ini penulis sebenarnya sudah jarang menggunakan jalur Pantura, apalagi setelah hadirnya tol Cipali yang menghubungkan Cikopo di Purwakarta dan Palimanan di Cirebon, praktis jalur Pantura bukan jalan favorit lagi. Ditambah lagi mudahnya reservasi tiket kereta api menuju stasiun Cirebon melalui pembelian online itu, sehingga perjalanan ke kampung halaman menjadi singkat tanpa perlu melalui jalur Pantura.
Tahun ini ngejajal kembali jalur Pantura melalui kendaraan roda dua. Satu hal yang bikin pangling adalah suasana di sekitaran jalur Pantura, terutama redupnya kejayaan kuliner di pinggiran jalan Pantura.Â
Dahulu sebelum beroperasinya tol Trans Jawa, sepanjang jalur Pantura mulai dari Subang hingga Indramayu dengan jarak yang relatif berdempetan ada deretan rumah makan yang siap melayani pembeli.
Dari warung kecil hingga restoran besar dengan kapasitas parkir yang mampu menampung puluhan bus, kalau istirahat di rumah makan tersebut pasti ada dua bagian ruangan makan. Kru bus disediakan tempat khusus, sedangkan penumpang di berikan ruang makan lainnya dengan cara prasmanan.
Cara menghitung makanannya adalah ada petugas khusus yang memutari meja dan melihat piring dan ia pun mencatatnya di kertas bon. Setelah usai makan kita ke meja kasir dan membayar makanan yang telah kita ambil.
Di masa jayanya jalur Pantura ada rumah makan legendaris seperti RM UUN, RM Markoni, dan RM Nikki. Hilir mudik bus-bus di jalur Pantura adalah denyut nadi jasa kuliner yang menghidupi ratusan pekerja.
Namun masa kejayaan rumah makan di pinggiran jalur Pantura nampaknya sudah berakhir, memang ada rumah makan yang masih beroperasi namun itu pun bisa dibilang dengan sepuluh jari.
Tak ada lagi rumah makan yang gemerlap bermandikan cahaya lampu dan jubelan pembeli serta parkiran mobil yang padat. Kini rumah makan tersebut kosong melompong, gelap, dan suram, hanya ada papan nama yang sudah berkarat sebagai penanda bahwa pernah ada di situ sebuah rumah makan.
Kalau suasana siang hari malah terlihat begitu jelas, rumah makan yang dahulunya megah, terlihat menyedihkan dengan tumbuhan ilalang, bangunan nyaris ambruk, dan tentu saja tidak terawat. Ternyata bisnis kuliner di jalur Pantura benar-benar sedang sekarat.