Mohon tunggu...
Topan Bagaskara
Topan Bagaskara Mohon Tunggu... Lainnya - Pemikir. Penyair. Pendaki Gunung.

Kita punya kehendak untuk hidup dan bercerita. Kehendak tidak dapat dipasung oleh keadaan atau kekuatan apapun. Berkehendaklah! Berdaulatlah! sejak dalam pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerakan Ekofeminisme: Menyelamatkan Lingkungan dari Cengkraman Ekstrativisme

2 Mei 2024   14:03 Diperbarui: 2 Mei 2024   14:21 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrator: Fitra Rahardjo

Kita memandang kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia semakin merebak. Hal ini ditengarai dari laporan Auriga Nusantara yang mengatakan selama pemerintahan Jokowi, setidaknya dalam 20 tahun terakhir ini terjadi deforestasi di Papua seluas 663.443 hektar. Dimana 71 persen diantaranya terjadi disepanjang tahun 2011 sampai 2019. Alih-alih penyumbang deforestasi terbesar yakni ditujukan untuk pembukaan perkebunan sawit seluas 339.247 hektar. Namun dari hasil penelusuran ternyata hanya 194 ribu hektar saja yang sudah ditanami sawit, selebihnya dalam kondisi rusak

Kemudian menambahkan data dari IPBES 2018 menyebutkan bahwa negera Indonesia pada setiap tahunnya harus kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, yang mana merupakan terbesar di region asia tenggara. Kemudian disusul data kerusakan sungai yang didata oleh KLHK tercatat yakni sebesar 101 sungai dari 105 sungai yang ada diantaranya dalam kondisi tercemar dengan tingkat pencemaran sedang hingga berat.

Melihat bagaimana konflik agraria terus terjadi, dan hal itu muncul dari kejahatan-kejahatan korporasi-negara dengan membawa wacana pembangunan dan kemaslahatan publik. Ini menjadi ironi jika kita ambil contoh persoalan di Rempang, apakah seperti itu cara korporasi-pemerintah melaksanakan wacana pembangunan dan untuk kepentingan publik?  

Ini yang dinamakan industri ekstraktif. Bahwa negara kita dalam pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada eksploitasi sumber-sumber kehidupan. Ideologi keruk-mengeruk ini yang kita kenal dengan ekstrativisme. Merupakan suatu paham yang dimana hasil eksploitasi sumber-sumber kehidupan itu akan dieskpor sebagai bahan dagangan ke pasar global dan satu napas dengan paham kapitalisme dan budaya patriarki.

Lalu, melihat bagaimana aktivitas pemerintah-korporasi sedang rusak-merusak lingkungan hidup, saya teringat dengan gerakan ekofeminisme. Gerakan sosial yang menghubungkan persoalan ekologi dengan perempuan; perjuangan perempuan yang menuntut keadilan lingkungan. Di Indonesia, perjuangan yang mengatasnamakan ide-ide feminisme banyak tercatat kisah sukses, diantaranya gerakan tolak reklamasi di Teluk Benoa Bali yang menggunakan gagasan Dewi Sang Hyang Dedari sebagai landasan melindungi wilayah-wilayah mereka yang akan dimasuki oleh korporasi, gerakan Ibu Bumi di Kendeng, Jawa Tengah, gerakan Mama Aleta Baun di Molo Nusa Tenggara Timur (NTT), gerakan perempuan akar rumput yang melawan perkebunan dalam skala besar di Takalar-Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap pembangunan bendungan Meninting di NTB, hingga perlawanan Wadon Wadas terhadap pertambangan batu andesit di Wadas yang mengeruk sumber air dan ruang hidup perempuan. Ini artinya secara pola gerak strategi menggunakan kedekatan perempuan dengan alam ini terbukti berhasil untuk menghentikan masuknya konsesi atau perusahaan.

Ekofeminisme juga menampilkan bahwa adanya relasi langsung antara penindasan terhadap alam dan perempuan, yang kedua subjek tersebut memiliki permasalahan yang sama yakni selalu dipandang hanya sebagai objek. Ini bisa saja terjadi karena dua faktor yakni budaya patriaki yang masih tebal, dan negara berada di bawah rezim politik ekonomi yang konsen merawat kekerasan terhadap perempuan dan mengeluarkan regulasi untuk mempermudah eksploitasi alam. Padahal gerakan ekofeminisme adalah kritik terhadap budaya maskulin yang menjadi landasan eksploitasi terhadap lingkungan dan perempuan.

Perempuan dan lingkungan alam di Indonesia selain kerap selalu dipandang sebagai objek, juga memiliki persoalan yang sangat pelik yakni harus berhadapan dan melawan sistem kapitalisme dan sekaligus berhadapan dengan budaya patriaki yang terus mengakar.

Sehingga menjadi amat penting merestorasi kuriositas dan pengetahuan bahwa ekofeminisme memiliki kemampuan sebagai perlawanan-perlawanan terhadap gerakan ekstrativisme. Dengan menggunakan prinsip dasar feminisme tentang kesetaraan antara gender yang menawarkan cara pandang non-linear, menghormati proses organik dan adanya keterkaitan manusia dan alam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun