Antara Habibie dan Jokowi
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Dari Allah pasti akan kembali kepada Allah. Termasuk Bacharuddin Jusuf Habibie. Akrab dipanggil B.J. Habibie. Manusia jenius yang dimiliki bangsa ini telah berpulang. Kematian menjemputnya setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Dua hari sebelumnya kabar hoak terkait wafatnya bertebaran di medsos. Feelingku begitu kuat bahwa kabar itu akan jadi nyata. Mulut aku kunci sekuat tenaga, takut dianggap sebagai pengamat kematian. Ini hanya soal feeling. Ada yang bilang intuisi. Ini salah satu dari sekian intuisiku tentang kematian. Mistis lu...
Rakyat Indonesia berduka. Habibie adalah satu diantara orang terbaik di negeri ini. Seorang ilmuan yang tidak saja banyak karya dan kontribusinya, tapi juga berdedikasi dan punya integriti. Jujur, lugu dan apa adanya. Kapasitas dan integritasnya layak jadi teladan bangsa ini. Kepolosonnya dalam bicara, mimik dan sikap tak memungkinkannya untuk melakukan branding diri dan pencitraan.
Hari dimana malaikat maut menjemputnya pulang di usianya yang ke 83 tahun, satu persatu kesaksian tentang hebatnya Habibie muncul. Mulai dari keberhasilannya membina keluarga, hingga kesuksesannya menyelamatkan negeri ini dari krisis. Entah sudah berapa banyak para tokoh dan penulis membuat kesaksian itu. Lalu lintas media dan medsos padat dengan berbagai kesaksian itu. Foto-foto kenangan bersama Habibie bermunculan. Mulai dari tokoh, ustaz, politisi, wartawan dan aktifis, sampai orang biasa yang tak dikenal publik.
Kalau ukuran masuk surga adalah banyaknya kesaksian baik itu, maka Habibie sudah memenuhi syarat. Itu juga jadi harapan dan doa rakyat Indonesia. Mungkin juga doa rakyat Jerman dimana Habibie tak bisa dianggap kecil kontribusinya di salah satu negara Eropa itu.
Kendati Habibie orang baik, pintar dan hebat, toh bangsa ini pernah tak menghendaki tokoh kelahiran Parepare 25 Juni 1936 ini jadi presiden. Ini terjadi di tahun 1999. Laporan Pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden ditolak di sidang MPR. Satu-satunya faktor, jika boleh dibilang begitu, adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Tak ada ruang dan kesempatan bagi alumni ITB ini untuk mencalonkan diri jadi presiden. Habibie berbesar hati, dan menyadari kegagalannya. Tak terlihat upaya untuk "ngotot" mencalonkan diri. Dan memang, tampak Habibie bukan tipe manusia yang ambisius untuk menjadi presiden
Lagi-lagi ini soal nasib. Untuk menjadi presiden tidak saja butuh syarat baik, jujur dan pintar, berkapasitas dan punya integritas, tapi juga nasib baik. Faktor terakhir inilah yang menentukan.
Beda Habibie, beda Jokowi. Untuk Jokowi, modal Esemka cukup untuk mensukseskannya jadi Gubernur DKI dan kemudian jadi presiden. Bahkan dua periode. Ini soal nasib. Kendati banyak yang mempersoalkan janji politiknya. Tapi, Jokowi punya takdir yang tak dimiliki Habibi.
Ternyata, pengalaman dan kehebatan membuat kapal terbang kalah nasib dengan mobil Esemkanya anak-anak dari tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Surakarta binaan pemilik bengkel bernama Sukiat.