Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agar Aktivitas Tak Monoton, Apa yang Harus Dirawat, Dikembangkan, dan Diupgrade?

23 Agustus 2021   11:14 Diperbarui: 23 Agustus 2021   11:35 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sering kita jumpai orang-orang yang menganggap dirinya sudah hebat, keren, luar biasa, dan sejenisnya, hingga gaya hidupnya, penampilannya, sikap perbuatannya, tabiatnya, bahasa tubuhnya, dan tutur katanya dan lain sebagainya pun ditunjukkan untuk mempertegas deskripsi ke-akuan orang tersebut, seolah dirinya pun menjadi kunci solusi masalah-masalah di tengah masyarakat, dll. Tapi bila ada yang mengkritik, langsung pasang badan.

Pertanyaannya untuk apa sih orang-orang itu melakukan perkehidupan yang seperti itu? Pasalnya, seberapa pun hebatnya orang-orang berupaya menunjukkan dirinya agar terlihat hebat, unggul, lain daripada yang lain, merasa sudah paling yang berbuat untuk kehidupan, menganggap orang lain tak berarti, tak ada peran, dan lain sebagainya, padahal yang mereka lakukan pun hal yang monoton. 

Selalu membuat dan melakukan hal yang sama dengan yang dulu. Yang itu-itu saja. Tidak ada ragamnya.

Merasa dunia seperti milik mereka sendiri. Dan, nampaknya hanya pandai bersolek lisan-tulisan-penampilan, tanpa mengukur diri, merefleksi diri, apalagi mengevaluasi diri. 

Terus mempertotonkan akting dan drama kehidupannya di semua tempat baik di dunia nyata maupun dunia maya bak dewa. Luar biasa.

Rendah hati, pondasi

Dari deskripsi tersebut, sebenarnya apa yang terjadi pada orang-orang tersebut? Sepertinya, sisi perikemanusiaan yang paling pondasi, yaitu rendah hati, tak pernah tertancap kuat pada hati dan pikiran mereka.

 Bila kerendahan hati yang menjadi pondasi manusia berkarakter dan berbudi, melekat mengakar pada diri mereka, maka sandiwara kehidupan yang diisi manusia-manusia sombong, pongah, merasa paling hebat, dan sejenisnya akan usai.

Sangat nampak bahwa adanya orang-orang yang seperti demikian, sejatinya hanya nampak luarnya, aktingnya saja, tetapi bisa jadi fakta di dalam dirinya keropos. Karena yang penting eksis, selalu nampil dan nggaya, sambil nunjukkin, Ini lho aku, gue.

Mengapa hal itu bisa terjadi pada mereka? Bila kita selalu merawat (memelihara, mengurus, menjaga), mengembangkan (membuka lebar-lebar, membentangkan, menjadikan besar-luas-merata, menjadikan maju-baik-sempurna), hingga selalu mengupgrade (menaikkan mutu, kualitas, kompetensi) ISEAKI kita, maka hal itu tentu tak akan terjadi.

Sebab, diri kita juga menjadi cermin, menjadi filter, menjadi penasihat, akan segala laku langkah, lisan-tulisan-penampilan kita, hingga selalu ada di garis kehidupan perikemanusiaan yang rendah hati karena dia menjadi pondasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun