Mohon tunggu...
Nuris FakhmiZakky
Nuris FakhmiZakky Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penuntut ilmu yang masih ingin belajar lebih banyak hal

Menulis untuk meninggalakan jejak kehidupan dan menuangkan rasa dalam sebuah tulisan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa, Sarana Komunikasi Bukan Barometer Akademisi

17 November 2020   17:08 Diperbarui: 17 November 2020   17:18 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dewasa ini dunia pendidikan kita masih menjadikan bahasa Inggris sebagai barometer akademisi bagi peserta didik. Tidak aneh jika kursus-kursus untuk lulus ujian TOEFL makin menjamur dengan biaya yang tidak murah. Padahal sejatinya bahasa adalah sarana komunikasi antar manusia dan tidak bisa dijadikan barometer kecerdasan intelektual.

Setiap peserta didik memiliki kecendrungan di bidangnya masing-masing, saat pendidik memaksakan setiap peserta didik dengan target yang memberatkan mereka maka hasilnya tidak akan maksimal, malah sisi negative dari hal itu adalah si peserta didik akan membenci mata pelajaran tersebut.

Tidak dipungkiri, bahasa Inggris memang sekarang menjadi sarana komunikasi internasional, yang dengannya kesempatan bagi kita dalam berkarir makin terbuka lebar. Namun perlu diingat bahwa yang dibutuhkan peserta didik adalah kemampuan menyampaikan ide yang ada di benaknya kepada orang lain bukan bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam soal ujian.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Sedangkan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Jadi selama peserta didik mampu menyampaikan pesan yang ia maksud dan lawan bicara memahami pesan yang ia bawa maka tujuan belajar bahasa telah tercapai sedangkan hal-hal selain itu hanyalah pelengkap.

Dalam kehidupan nyata mereka lebih dituntut untuk berani mencoba dan belajar dari pengalaman di lapangan. Jika di ruang kelas kita mengekang peserta didik sehingga ia merasa bodoh dan malu karena grammar nya berantakan ataupun pelafadzan kata yang salah maka tujuan dari belajar bahasa itu sudah hilang. Karena mereka kehilangan keberenian untuk berkomunikasi.

Jika kita sejenak melihat anak kecil yang sedang belajar berbicara, kita akan menemukan banyak pengucapan kata yang salah ataupun tata bahasa yang berantakan, namun itulah proses belajar, ia akan semakin baik dengan berjalannya waktu dan semakin sering ia menggunakan bahasa yang ia miliki. 

Apabila anak itu itu kita labeli bodoh maka selamanya anak itu akan takut untuk berbicara, begitu juga dengan peserta didik yang sebenarnya sama dengan anak kecil yang sedang belajar berbicara. Yang ia butuhkan adalah dorongan dari pendidik agar ia berani mencoba sehingga dia bisa berkembang bukan penilaian negatif atas pencapaiannya. Dengan begitu akan timbul dalam dirinya keberanian untuk berkomunikasi, berusaha untuk membuat orang lain paham apa yang ingin ia sampaikan. Dengan begitu ia akan berkembang dan akan menjadi lebih baik.

Sebaliknya, jika peserta didik sudah merasa bodoh dan tidak bisa, maka ia akan merasa takut untuk mencoba berkomunikasi dengan bahasa yang ia pelajari, akibatnya ia akan selamanya tidak bisa dan tidak berani untuk mencoba.

mari kita sama-sama merubah mindset kita dalam melihat bahasa sebagai sarana komunikasi bukan barometer akademisi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun