Per kata ia ucapkan begitu kaku dan kerap setiap jedah sejenak, ia menggit bibirnya. Â Tapi kadang lajunya agak stabil jika itu dengan tepat menggambarkan suasana hatinya. Senyum di sudut bibirnya pun ia coba lukis secantik mungkin seiring dengan binaran matanya yang tampak riang.
Namun itu tak berlangsung lama. Titik-titik air mata, tak bisa ia bendungi saat mulai menodai pipinya. Kekakuan kembali merenggut raganya. Begitu banyak emosi duka dan luka yang ia pendam. Â Aku hanya memanggut. Setiap tuturannya hanya kuberi jawab dengan bola mata mengikuti tatapannya.
Apa gerangan?
Gordy, begitu saja namanya, telah membuatnya kesal. Baginya, Gordy adalah seorang pria di sekolahnya yang tergolong cerdas, memiliki kemampuan berlogika bagus saat berdebat akademis, dan jalan pikirannya sangat tajam. Namun sayang, setiap kali ia coba mengajak berbicara tentang "perasaan remaja", ia tidak tanggap dan sangat dingin.
Sudah berapa kali gadis ini berupaya membangkitkan emosinya, namun ia diam seribu bahasa, tetap bersikap pasif, dan tidak acuh. "Ia sudah mati rasa, Pak," katanya.
Saya sangat yakin, kekecewaan akibat dinginnya perasaan dari lelaki yang disukai seperti yang dialami gadis ini bukanlah hanya ia seorang. Masih banyak Gordy lain yang tidak mampu berbicara terbuka tentang perasaannya dengan siapun dalam hidupnya. Mulut mereka seolah terkunci bila hendak menyatakan perasaan cinta (atau lainnya), lalu serentak wajah dan telinga mereka jadi merah maron. Bahkan pilihan membujang sampai akhir hayat adalah lorong terang baginya. Jika ditanya alasanya, maka jawaban yang mereka berikan adalah memang mereka tidak mengetahui apa yang mesti dirasakan.
Gejala Aleksitimia?
"Kekosongan emosi" seperti yang dikisahkan oleh gadis terhadap lelaki yang hendak disukai di atas dalam ilmu psikologi disebut aleksitimia. Kata yang berasalah dari bahasa Yunani a berarti tidak memiliki, lexis berarti kata, dan thymos berarti emosi. Jadi, orang-orang semacam itu tidak memiliki perbendaraan kata atas perasaan mereka.
Mereka tampak normal secara fisik dan psikis. Namun mereka mengalami kesulitan untuk melukiskan perasaan-perasaannya. Perbendaharaan kata emosional mereka amat terbatas. Buruknya lagi, mereka juga sulit membedakan antara emosi dan rangsangan tubuh. Untuk itu, terutama para gadis, tidak perlu heran bila mereka merasa mual-mual, jantung berdebar, tangan berkeringat, kepala pusing, atau muka memerah saat bersanding apalagi mau menyatakan cinta dengan mereka. Semua gejala itu mereka sebut sebagai "penjara perasaan". Padahal itu semua adalah mereka cemas.
Apakah bisa diatasi?
Sayapun tidak tahu. Mungkin jalan satu-satunya dengan jalan operasi hebat di daerah kepala. Untuk memperbaiki sistem limbik dan neokorteks yang diduga terputus. Tapi kalau tidak punya biaya yang cukup, maka para gadis mau tak mau dekati dia terus atau rayu dia terus sampai putus nafasnya. Haha....