Mohon tunggu...
Junihot Maranata
Junihot Maranata Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi pendidikan

Berhamba pada sang anak didik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Memberontak, Mengapa dan Bagaimana Solusinya?

19 Mei 2020   09:26 Diperbarui: 20 Mei 2020   11:40 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika orang tua menjalankan perannya sebagai pendidik, tidak dapat dipungkiri banyak terjadi ganguang yang membuat tujuan pendidikan itu sendiri tidak tercapai dengan semestinya. Kebanyakan orang tua  berpikir bahwa mestinya anak selalu taat kepada perintah dan larangan orangtuanya. Disuruh makan segera dilakukan. Anak disuruh belajar lalu tanpa bantahan ia menunaikan tugasnya.  Disarankan tidur siang langsung dituruti. Disuruh mencuci piring dan membersihkan toilet, segera semua beres terlaksana. Namun jika itu yang terjadi, tanpa disadari anak telah dibentuk ibarat mesin robot jadinya!

Dalam kenyataan tidaklah begitu.  Ada kalanya orangtua harus berulang-ulang memberi perintah kepada anak. Ada kalanya anak seolah memaksa orangtua bersuara keras bahkan berteriak dan mengancaman, barulah ia move on. Bahkan, walaupun anak sudah diberi ancaman malah berani melawan orangtua. Ia berkata kasar, ia berteriak, atau ia keluar meninggalkan rumah.

Mengapa anak memberontak kepada orangtua saat disuruh melakukan sesuatu yang berguna baginya, atau ketika diminta pertolongannya? Berikut beberapa alasan sebab yang perlu dipahami oleh orangtua.

Pertama, kurangnya pujian atau penghargaan. Anak dan orangtua sama saja. Keduanya ciptaan Allah yang memiliki emosi. Salah satu kebutuhan mereka ialah pengakuan, penghargaan atau pujian. Jika kita telah membantu seseorang mestinyalah mendapat penghargaan dan pengakuan. 

Misalnya, ucapan terima kasih secara tulus. Jika kita didiamkan, maka di hari berikutnya kita enggan untuk memberi pertolongan. Jadi, supaya anak menuruti saran dan suruhan orangtua maka ia patut diberi pujian dan penghargaan.  Bentuknya tidak harus berupa materi seperti tambahan uang jajan atau untuk menambah uang tabungan. Setelah anak mencuci piring, sambil memeluk ibu patut berkata: "Terima kasih banyak sayang, luar biasa pertolonganmu dan jerih hasil kerjaanmu!" Jika anak sudah mengerjakan pekerjaan rumahnya, hatinya digembirakan oleh kata-kata "Wah, cerdas kamu nak, mama bangga!"

Kedua, karena sering mendapat hukuman. Anak yang kerap dicaci apalagi dihukum fisik karena pekerjaannya tidak sesuai harapan, tentulah marah kepada orangtua. Bisa juga anak mendapat hukuman karena ia lambat mengerjakan perintah orangtua. Untuk beberapa waktu anak mentaati perintah orangtua dengan rasa terpaksa, guna menghindari celaan dan teriakan, cubitan atau ketokan tangan di kepala. Tidak sedikit orangtua ringan tangan memukul tubuh anaknya. Bisa jadi karena sulit memutus mata rantai pengalaman buruk masa lalu.

Ketiga, karena kerap diperbandingkan. Kerapnya anak menolak perintah bahkan permohonan orangtua, secara terselubung dapat disebabkan oleh karena ia dikatakan lebih kurang berkualitas dibandingkan dengan kakak atau adiknya. Bukankah anak sering melihat ayah atau ibunya bersikap dan bertindak istimewa terhadap kakak atau adiknya? 

Kalau ada barang hilang di rumah maka yang dituduh bersalah ialah diri si anak. Secara perlahan anak merasa bukan anak favorit, apalagi jarang dibeli pakaian baru. Ia hanya disuruh memakai pakaian kakaknya. Jadi, orangtua harus belajar bersikap adil terhadap anak-anak yang Tuhan karuniakan. Masing-masing memiliki keterbatasan dan kelebihan. Ayah dan ibu patut bersyukur atas keunikan setiap anaknya. Bakat dan potensinya harus dikembangkan!

Keempat, karena keletihan anak tidak diperhatikan. Saat anak merasa letih secara fisik tentu saja ia ingin istirahat walau sejenak. Namun, ada saja orangtua dengan alasan demi kedisiplinan, tetap memaksa anak mengerjakan sebuah tugas.  Padahal, anak sudah berkata, "Nanti ya Pah, sebentar saya istirahat dulu...., Lagi capek nih!" Anehnya, ayah menuduh, "Kamu selalu saja banyak alasan ....., Kamu ini pemalas! Ayo kerjakan sekarang!"

Kelima, karena prioritas anak diabaikan. Mengasuh anak merupakan upaya membantu anak memahami prioritas tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Maka, sejak masuk sekolah anak sepatutnya dibantu memahami apa saja tugas-tugasnya. Anak diajari, pekerjaan rumah apa yang harus didahulukan. Setelah tugas itu selesai, ia dilatih mengerjakan tugas-tugas di rumah yang dapat dilakukannya. Misalnya, merapihkan ruangan kamarnya, atau memberi makan ternak peliharaan, atau menyiram tanaman di halaman rumah.

Ada kalanya anak tengah mengerjakan tugas-tugas sekolah yang lumayan banyak dan dirasa berat. Sebab, ia baru mendapatkan topik-topik pelajaran baru. Tugas-tugasnya masih dianggap asing. Belum dirasakan mudah. Nah, ketika saat itu pula orangtua memberi sebuah perintah, tentulah anak protes dan menyatakan: "Nanti saja Ma...!" Anehnya ibu menjawab, "Harus sekarang! Kalau tidak mau, uang jajanmu besok tidak diberi!" Ancaman tidak selalu membuat anak menurut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun