Mohon tunggu...
Tjitjih Mulianingsih Ws
Tjitjih Mulianingsih Ws Mohon Tunggu... Guru - Guru yang menyukai menulis dan berkebun

Guru yang menyukai menulis dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Wulan

15 Oktober 2018   15:22 Diperbarui: 15 Oktober 2018   15:54 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hi cantik siapa nama ayahmu?" Teriakan seorang lelaki paruh baya mengagetkan  seorang gadis kecil  usia SD.  Wulan namanya, tidak seperti namanya dia cantik, berkulit eksotis dengan rambut berwarna coklat dan  dua bola mata sendu. 

" Wulan,  ayo mampir sini!." 

"Ayo sebutkan siapa nama ayahmu."  Lelaki paruh baya itu berteriak kembali memanggil Wulan.  Kali ini malah lebih keras dari yang pertama.

Anehnya panggilan itu membuat  gadis kecil semakin menunduk, merapatkan kepalanya ke leher, seandainya bisa.  Lelaki itu terus berteriak hingga dia menghilang dari pandangan di tikungan jalan.

Uhh, lega rasanya, dia menghembuskan nafas.  Setiba di depan sebuah rumah kecil sederhana, dia mengambil  kunci di bawah keset, dibukanya pintu untuk kemudian mengucapkan salam yang akan dijawabnya sendiri.  

Diletakkannya sepatu dan tasnya dengan hati-hati pada tempatnya.  Digantungkannya seragam dengan hati hati, tepat disamping sebuah foto yang di gantung di sebuah pigura.  Ia dan ibunya. Wulan dan perempuan paruh baya.  Perempuan paruh baya bermata sendu.

Anak gadis kecil itu kemudian duduk di kursi teras rumahnya yang sederhana, mencoba menikmati segurumbul bunga kenikir berwarna kuning. Semarak, dia akan duduk terus di nyasitu hingga kantuk menyerang, menunggu  perempuan yang pangginyal ibu pulang.

Namaku Wulan, dia  mulai berdialog sendiri

Wulandari berarti bulan purnama, tetapi tidak seperti artinya, hidupku tak seterang cahaya bulan ketika purnama.  Aku dibesarkan oleh perempuan yang memilih hidup sendiri karena tak percaya cinta.  

Cinta dari  seorang laki laki. Aku lahir dari hatinya tepat ketika tangisan pertamaku pecah di pagi buta. Pada saat itu pula perempuan yang melahirkanku ke dunia  pergi untuk selamanya, hanya menitipkan senyum pada perempuan lain yang kini kupanggil ibu.

"Ibumu, perempuan cantik dan cerdas dia bintang kampus tempat kuliah kami dulu."  Begitu selalu yang diucapkannya ketika kuajukan kalimat tanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun