Jawaban Mengapa Saya Betah Menulis di Kompasiana?
"Ketika kata-kata dituangkan ke dalam tulisan, ia tak hanya menyembuhkan jiwa penulisnya, tetapi juga bisa menjadi penghibur, penguat, bahkan penerang bagi orang lain."
Pertanyaan tentang apa yang diperoleh dari menulis tentu akan mendapatkan beragam jawaban, karena setiap orang memiliki alasan dan prinsip pribadi mengapa ia menulis.
Karena setiap orang berhak untuk berbeda dengan diri kita
Berbagi Pengalaman Pribadi
Ide menulis topik ini muncul ketika salah seorang Kompasianer dalam acara A to Z melontarkan pertanyaan, "Apakah benar menulis merupakan terapi diri?" Nama penanya kurang jelas terdengar, tetapi pertanyaan itu menggelitik hati saya.
Saya merasa perlu menjawabnya bukan sekadar kata-kata, melainkan berdasarkan pengalaman pribadi yang nyata. Itulah sebabnya saya menuangkan pengalaman ini dalam artikel, agar bisa menjadi refleksi sekaligus motivasi bagi siapa saja.
Dari Hobi Menjadi Obat Jiwa
Sejak SMA saya sudah akrab dengan dunia tulis-menulis. Saya menulis di majalah sekolah Gema Don Bosco. Waktu itu, menulis hanya sekadar hobi. Namun, perjalanan hidup membawa saya pada titik balik yang tak pernah saya sangka.
Saya pernah mengalami kecelakaan dan gegar otak yang parah. Secara fisik memang saya sembuh, tetapi ada yang hilang dari diri saya: saya menjadi pelupa. Rasanya sungguh tidak enak.
Puncaknya terjadi ketika saya hendak mencairkan cek di bank. Saat diminta menandatangani, saya justru lupa bagaimana membuat tanda tangan saya sendiri. Berkali-kali saya mencoba, tetapi hasilnya selalu berbeda. Cek itu tak bisa cair.
Bahkan karyawan bank terpaksa menghubungi istri saya. Meski saya sudah menjelaskan bahwa itu benar-benar cek saya, prosedur tetaplah prosedur. Akhirnya, istri saya datang dan membantu menyelesaikan urusan tersebut.