Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertahun-tahun Melarat, Jadi Pelajaran Berharga bagi Saya

2 April 2019   22:24 Diperbarui: 2 April 2019   22:52 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah hidup saya yang morat-marit sudah pernah saya tuliskan. Tentu tidak elok bila saya mengulangi cerita lama, karena hanya akan menghadirkan kejenuhan bagi yang membaca. Saya hanya menuliskan sesingkat mungkin sebagai latar belakang dari tulisan ini.

Saya lahir dalam keluarga besar, total 11 orang bersaudara. Ayah lahir di salah satu desa di Kota Payahkumbuh, begitu juga ibu saya. Pekerjaan ayah saya adalah supir truk. Jadi dapat dibayangkan bagaimana kami sekeluarga menjalani hidup.

Sejak masih di SD, kami sudah dididik untuk mulai belajar hidup mandiri dengan berjualan telur asin dan beragam makan, yang dimasak ibu saya. Sementara kakak-kakak saya pada waktu itu, baru 3 orang yang bekerja.

Saya tidak pernah merasakan bagaimana rasanya makan roti pakai keju. Hingga ketika suatu waktu saya diberikan sepotong roti berlapiskan keju. Saking gembiranya hati, saya makan perlahan-lahan dan tidak minum air agar dapat menikmati rasa keju hingga saya tertidur.

Sepotong keju itu diberikan kepada saya sewaktu ikut kakak mengantarkan pesanan kue di Central Bar yang lokasinya di Jalan Pondok. Begitu melekatnya hadiah sepotong roti keju itu hingga kini, walaupun sudah 67 tahun lalu, masih melekat erat dalam bayangan saya.

Dalam keluarga saya menempati urutan ke-8, jadi berarti masih ada 3 orang lagi adik saya. Yang dua orang sejak masih kecil sudah dipanggil Tuhan, sedangkan adik yang berada di bawah saya dan hanya selisih 1 tahun, sudah almarhum belasan tahun lalu.

Nasib Tak Kunjung Berubah hingga Berumah Tangga
Hingga kami berumah tangga ternyata nasib belum juga berubah. Bahkan hingga putra pertama kami lahir, hidup kami masih morat-marit. Seperti yang pernah saya tuliskan, kami tinggal di pasar kumuh. Istri saya mengajar dan saya menjual kelapa parut.

Pada waktu putra kami yang waktu itu baru satu orang jatuh sakit, tidak ada uang untuk berobat ke dokter. Karena itu, kami harus mengikhlaskan menjual cincin kawin untuk membiayai anak kami berobat.

Jadi Pelajaran Berharga
Menjalani hidup morat-marit selama bertahun-tahun, sungguh merupakan masa-masa yang paling sulit dalam hidup kami. Membayangkan, betapa dengan menebalkan kulit muka, harus mengutang hanya untuk sebungkus nasi rames yang akan kami makan bertiga beranak. Namun, akhirnya kami bersyukur kepada Tuhan, mampu melalui badai kehidupan dengan selamat.

Ketika hidup kami berubah secara total, baru saya sadari bahwa pernah merasakan sakitnya hidup mampu membentuk sikap mental kami. Setiap kali ada orang yang datang dan menceritakan penderitaannya, maka langsung kami dapat merasakan karena pernah mengalami bertahun-tahun.

Hal ini menjadi pengingat bagi kami agar jangan pernah menyombongkan diri atas apa yang sudah dicapai, serta selalu membuka diri untuk dapat membantu sesuai kemampuan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun