Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jadilah Diri Sendiri, Untuk Apa Mendompleng Nama Besar Orang Lain?

29 Oktober 2018   18:59 Diperbarui: 29 Oktober 2018   19:27 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : getty images

Mengagumi seseorang tentu tidak menjadi masalah. Misalnya mengagumi Bung Karno dan Bung Hatta yang merupakan tokoh Proklamator kemerdekaan RI. Keduanya adalah sosok yang pernah mengalami pahit getirnya perjuangan kemerdekaan, Dipenjara dan dibuang kesana sini. Sebelum mendapatkan kehormatan menduduki kursi empuk sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama. 

Ini hanya sekedar contoh, karena ada banyak sosok pahlawan atau tokoh tokoh masyarakat baik yang berasal dari Indonesia maupun di berbagai negara. Namun, tentu saja kita harus tahu diri,untuk membatasi hanya sampai batas mengagumi, memajang foto-foto orang yang dikagumi di dalam kamar pribadi atau diruang tamu, bahkan mungkin menjadi cover di ponsel kita. 

Hindari Hal Hal Yang Berpontensi Mempermalukan Diri Sendiri

Ketiadaan rasa percaya diri atau hasrat hati yang mengebu gebu agar bisa mencapai popularitas,sering kali membuat orang lupa diri,sehingga melakukan hal hal yang akan mempermalukan diri sendiri. Berbeda bila kita Penulis Novel atau Penulis fiksi, maka tentu saja kita boleh menempatkan diri kita sendirI, sebagai pemeran atau tokoh utama dalam karangan kita. 

Tidak ada yang berhak komplain, apalagi melarang kita, Namun antara fiksi dan kehidupan nyata,adalah dua alam yang berbeda ,yang masing masing memiliki ruang hidup tersendiri. Karena itu  dalam kehidupan nyata, ada rambu rambu yang harus menjadi patokan, agar jangan sampai kita terlena dan berjalan melanggar rambu rambu kehidupan.


Hindari Menobatkan Diri Sebagai Tokoh

Belakangan ini, kita menjadi risih, membaca, mendengar, maupun menyaksikan, orang- orang yang berbicara dengan mengatas namakan dirinya sebagai tokoh,entah siapa yang mengangkatnya. 

Misalnya ada orang di Jakarta,yang mengatas namakan komunitas Tionghoa ,padahal entah siapa drinya,sehingga merasa berhak mengatas namakan etnis Tionghoa Indonesia? Bagi yang sudah mengenal komunitas dari etnis Tionghoa, pasti sudah memahami,bahwa orang Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Sumatera Barat, berbeda total sudut pandang dan tradisinya,bila dibandingkan dengan etnis Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Sumatera Utara, walaupun kedua komunitas ini,sama sama berasal dari Etnis Tionghoa.

Bukan hanya sudut pandang yang berbeda,tapi juga bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari harian dalam keluarga juga berbeda. Pada umumnya,semua etnis Tionghoa Sumatera Barat. menggunakan dialeg  Padang, baik dalam berkomunikasi antar keluarga, maupu dalam menjalin hubungan persahabatan dengan orang-orang di luar keluarga.

Bahkan dalam komunitas etnis Tionghoa di Padang saja,terbagi atas dua kelompok,yakni kelompok yang bergabung dalam HBT (Himpunan Bersatu Teguh d/h. Heng Beng Tong) dan kelompok yang bernaung dibawah organisasi HTT (Himpunan Tjinta Teman d/h Hok Tek Tong ). 

Begitu juga yang domisili di Padang Panjang, Bukittinggi, Payahkumbuh dan lain lainnya. Jadi kalau ada yang secara gegabah mengangkat diri sebagai: "tokoh etnis Tionghoa", sangat kentara bahwa dirinya sama sekali tidak tahu seluk beluk komunitas dari etnis Tionghoa. 

Karena itu, sejak zaman penjajahan hingga zaman kemerdekaan, tidak seorangpun dari etnis Tionghoa Padang yang berani mengangkat dirinya sebagai wakil orang Tionghoa Padang.

Perlu Kontrol Diri

Karena itu, sebelum semuanya terlanjur basah dan berakibatkan masalah yang berbelit belit, sebaiknya sedini mungkin, kita membatasi diri. Dalam menyampaikan asprasi, mengundang komunitas lain, memberikan saran, kritikan, bahkan mungkin tuntutan, gunakanlah identitas pribadi dengan tidak membawa bawa etnis,agama maupun kelompok tertentu, kecuali kalau memang mendapatkan mandat untuk itu..

Hal ini merupakan hal yang sangat penting, demi untuk menghindari berbagai kesalah pahaman. Jangan bersembunyi dibalik agama, maupun etnis, untuk menyampaikan rasa tidak puas ataupun kritikan. Berlakulah satria dan katakanlah "saya tidak setuju" atau "saya menuntut atau saya akan memperkarakan". Walaupun kelak kalah dalam berperkara, tapi orang akan tetap menghargai kita, ketimbang bersembunyi di balik nama: rakyat, etnis, maupun agama atau komunitas, Terlepas dari masalah politik, hal ini berlaku dalam semua sektor kehidupan, selama kita berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. 

Bersahabat dengan Pejabat 

Kita dengan bebas boleh berteman, bahkan bersahabat dengan seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari pemulung, tukang becak, sopir angkot hingga orang orang penting dan merupakan tokoh atau Pejabat penting. 

Tapi ada hal yang sangat perlu kita ingat, bahwa bersahabat dengan orang penting ,maupun pejabat tinggi,tidak secara serta merta, kita ikut menjadi orang penting. Kita adalah tetap diri kita. 

Kalau kita berjalan bersama sama dan dihormati disepanjang jalan atau diberikan tempat utama dalam undangan, jangan lupa, semuanya bukan untuk kita. Diri kita, hanya kebagian bisa dari rasa hormat masyarakat kepada sang pejabat atau orang penting.

Jangan Sampai  Lupa Diri

Sadar diri kita siapa, sehingga tidak ikut melambung, ketika mendapatkan kesempatan, berfoto dengan pejabat penting, bahkan mungkin juga foto bareng dengan presiden. Boleh boleh saja kita berbangga diri, karena tidak banyak yang dapatkan kesempatan seperti itu. Tapi tetap sadar diri,bahwa siapa diri kita sesungguhnya. Dengan selalu sadar diri, maka kita dapat menghindari, dipermalukan atau jadi bahan olok olokan bagi orang lain.

Misalnya, saya bercerita dan menampilkan foto saya, bersama Presiden Soeharto diIstana Merdeka. Atau bersama Presiden Joko widodo, dalam acara makan bersama di istana dan acara makan bersama menteri perdagangan, sewaktu saya masih pengusaha,tentu boleh boleh saja. karena semuanya memang benar, bukan khyalan. 

Tapi bilamana dalam setiap pembicaraan, selalu mengulang ulangi nya, maka orang yang mendengarkan, bukannya terkagum kagum, melainkan malahan mual mual dengar cerita yang itu itu juga. Karena itu, jadilah diri kita sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada di dalam diri kita. Hal ini adalah jauh lebih terhormat, ketimbang ingin menjadi diri orang lain, kendati sosok yang menjadi idola kita adalah tokoh penting dalam masyarakat.

Biarlah Orang Yang Mengangkat Diri Kita Bilamana Memang Layak

Kalau diri kita memang layak dijadikan tokoh ataupun memang sosok yang pantas dihormati dan didahulukan, maka biarkanlah orang lain, yang memberikan penghargaan tersebut kepada diri kita. Jangan sampai kita menyodor nyodorkan diri sebagai orang terhormat, apalagi sampai menobatkan diri sendiri, sebagai tokoh masyarakat. Rasa hormat itu, terlahir dari dalam lubuk hati orang lain, bukan kita yang memaksa orang untuk mengutamakan diri kita.

Begitu juga ketika diundang menghadiri pertemuan,hindari duduk ditempat VIP, karena mungkin dalam komunitas kita, diri kita adalah orang penting,tapi didalam komunitas orang lain, kita hanyalah tamu biasa. Jangan sampai, karena terlalu percaya diri  dan langsung mengambil tempat duduk di barisan VIP, terus diminta pindah karena sudah diperuntukkan bagi orang lain, tak terbayangkan mau di taruh di mana wajah kita?

Kesimpulannya adalah: "Jadilah diri sendiri"

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun