Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ekspresi Erotisme Tempo Dulu

19 September 2020   00:06 Diperbarui: 24 September 2020   17:47 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi | instisari.grid.id

Seks merupakan naluri dan obsesi dasar manusia, oleh karena itu tidak mengherankan segala hal yang berkait dengan permasalahan seksualitas selalu menjadi buah bibir yang menarik. Termasuk di dunia kesenian menjadikan seksualitas sebagai salah satu sumber inspirasi yang tak pernah kering digali, dengan kata lain seksualitas dan ungkapannya (erotisme) banyak mewarnai karya-karya seni.

Erotisme seksualitas dalam seni tidak hanya menjadi monopoli para seniman di zaman ini saja, tetapi juga para pujangga kuno.

Ketertarikan pujangga-pujangga kuno kita pada erotisme seksual terbukti dengan banyak dijumpai karya-karya klasik yang menggambarkan seluk beluk seksualitas, mulai dari dunia perempuan, pendidikan seks, filosofi seks, hingga teknik-tekik bercinta seperti antara lain:

Serat Katurangganing Wanita, Pakem Pandom Pandumiking Salulut yang kedua-duanya berisikan tentang ciri, sifat, kelebihan dan peringai wanita yang dikaitkan dengan seksualitas; Wewading Wanita yang berisikan tuntunan bagi para wanita dalam berperilaku sebagai istri: Slokantara yang berisikan moral didaktik tentang perjalanan menuju kedewasaan seksualitas; Wrhaspatitattwa yang merupakan risalah filosofis Jawa Kuna yang termasuk di dalamnya pandangan filosofi seksual; pandangan filisofi seksual juga disinggung dalam beberapa bagian dalam kisah Kunjarakarna; juga dalam beberapa bagian dalam Smaradahana  yang menyinggung teori reproduksi  tradisional; Kuntaramanawa, Manawadharmasastra,yang kedua-duanya sebenarnya merupakan kitab perundang-undangan yang beberapa babnya membicarakan tradisi, undang-undang dan bentuk-bentuk peraturan perkawinan; Aji Asmaragama yang berisikan kiat untuk menaklukan wanita. Yang paling menarik adalah teks-teks yang berisikan teknik dan seni bercinta bahkan dianggap sebagai pedoman seni erotis yang paling utama yaitu Kamasastra (versi India disebut Kamasutra), Smaradhana, Smaratantra (Kamatantra), Rukminitattwa, Indranisastra, Tutur Kamadresti, dan Smarakridalaksana.

Istilah erotisme berasal dari kata eros dalam bahasa Yunani yang menunjuk kepada Dewa Cinta, Putera Aprhodite.

Dalam arti luas erotisme dimaknai sebagai bentuk pengungkapan cinta antara pria-wanita, antara jenis kelamin yang sama (homoerotik), dan cinta terhadap diri sendiri atau autoerotik (Muller Halder, 1972).

Sedangkan dalam pemaknaan sempitnya, erotisme tidak hanya berarti seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah, tetapi mencakup pula aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan (Darmojuwono, 1994).

Erotisme berbeda dengan pornografi, walaupun tipis batasnya. Erotisme terbatas pada penggambaran perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido.

Sedangkan pornografi berarti pelukisan tindakan seksual yang dengan sengaja ditunjukkan untuk menimbulkan nafsu seksual. Dengan kata lain pornografi merupakan pengungkapan vulgar aktivitas seksual.

Dalam pornografi selalu ada erotisme, namun tidak semua yang erotis itu pornografi (Hoed, 1994). Ada delapan pedoman untuk memastikan teks yang tidak boleh dituduh pornografi, yaitu: apabila adegan seksualitas tidak dilukiskan secara detil, seksualitas ditampilkan hanya sebagai suplementer cerita, seksualitasnya tidak dominan, seksualitas hanya ditampilkan untuk unsur pendukung cerita, dikemas dengan estetis, didukung ide yang baik, motifnya tidak semata memuja libido tapi untuk memasukkan nilai kemanusiaan-kehidupan, dan seksualitas tersebut dibungkus dengan jalinan cerita yang logis dan wajar.

Erotisme seksual dalam teks-teks kuno kebanyakan menggunakan simbol atau lambang yang halus dan implisit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun