Mohon tunggu...
Prinz Tiyo
Prinz Tiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - I just don't like the odds.

I just don't like the odds.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lindungi Diri dan Keluarga Anda dari Godaan 'Debt Collector'

9 April 2011   01:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:59 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf. Saya bukan bermaksud untuk mengunggah pendapat yang 'sak karepe' dewe [1] menanggapi kasus penganiyaan nasabah kartu kredit yang berakibat tiwasnya nasabah tersebut di tangan 'debt collector'. Maaf pula. Saya bukan bermaksud untuk menghambat karier sejumlah kawan saya yang juga bekerja sebagai 'debt collector'; menghalang-halangi sejumlah kawan saya untuk menambah pundi-pundi uang dengan mengajukan permohonan utang kepada lembaga keuangan; atau mengganggu kinerja dan masa depan lembaga pemberi utang dengan mengajak orang untuk tidak usah utang di lembaga pemberi utang. Ini bukan sebuah provokasi, agitasi, propaganda, dan hasutan. Ini sekedar masukan.

Kebutuhan saat ini memang mendesak. Mendapatkan kebutuhan pokok pun sangat berat untuk dipenuhi. Orang yang berutang pastinya telah berusaha sekuat tenaga guna mencukupi kebutuhannya. Ia pasti telah berupaya untuk menutupi defisit pendapatan dengan segala cara sebelum akhirnya memutuskan untuk utang. Saya mengerti itu. Saya pun pernah mengalami masa-masa defisit seperti itu. Maka dari itu saya dapat belajar
dari situ dan sekarang berusaha untuk 'lebih menyadari keadaan'. Artinya, sangat mengerti bahwa pengeluaran yang kelak saya lakukan tidak boleh melebihi pendapatan yang saya peroleh, atau setidaknya tidak boleh terlalu melebihinya.

Pepatah klasik mengatakan 'besar pasak dari pada tiang'. Pepatah ini menggambarkan suatu keadaan yang berada di luar kemampuan. Dari waktu ke waktu anjuran untuk tidak 'besar pasak daripada tiang' terus terngiang di telinga kita. Akan tetapi apa daya? Kebutuhan semakin mendesak kita.

Harga kebutuhan sehari-hari melambung tinggi. Pangan, sandang, papan, dan...ya, pendidikan, terus mengalami kenaikan harga. Akhirnyalah keadaan menjadi tak terkendali meskipun telah dikendalikan semaksimal mungkin. Terang-terangan saya jelas menyayangkan langkah para pembuat kebijakan harga kebutuhan sehari-hari. Monopoli terjadi di sana-sini membuat penentuan harga sebuah barang kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok, menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Tapi ya...kita hanya mampu berharap. Rakyat kecil hanya mampu berharap agar harga tidak naik lagi kelak di kemudian hari.

Konsumerisme memperparah keadaan masyarakat. Hasrat memiliki sesuatu seperti yang dimiliki oleh orang lain adalah sah dan hak setiap orang. Namun hendaknya hasrat itu harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika 'rem blong'[2] maka anda akan terjerumus ke dalam kesusahan. Tak mampu mengendalikan diri karena merasa 'iri' terhadap kemampuan orang lain dalam membeli sebuah barang akan membuat anda sengsara, gelisah, dan stres. Sudah mengerti keadaan seperti ini menyusahkan, tetapi mengapa terus dilakukan? Ehm, tetapi memang kesalahan tidak dapat 100% ditimpakan pada pengutang. Kenyataan di lapangan, para pebisnis terus mencari celah guna memanfaatkan 'kegelisahan' masyarakat dengan memberikan tawaran menggiurkan, misalnya, dealer kendaraan memberikan kemudahan kepada mereka yang ingin membeli kendaraan namun tidak memiliki uang dengan mengadakan program angsuran kendaraan dengan uang muka murah. Hah! Kemudahan???! Hmm...mungkin kurang tepat jika saya menulis  'kemudahan' ya? Pasalnya, kata kawan-kawan saya, membeli kendaraan secara kontan saat ini tidak mudah. Ooo...saya tahu. Ternyata ada 'konspirasi' di balik itu. Si A bekerjasama dengan Si B, dan seterusnya. Begitulah. Begitulah dunia usaha yang penuh intrik. Parah sekali, korbannya adalah konsumen (ya benar saja 'dong'...tanpa konsumen usaha tidak akan hidup, hehe).

Satu-satunya yang dapat mencegah resiko negatif akibat utang tak lain adalah diri kita sendiri. Meminta pemerintah untuk menghentikan 'hobi favoritnya' menaikkan harga kebutuhan pokok sepertinya 'ora gampang koyo mijet wohing ranti'[3]. Menuntut lembaga pemberi utang untuk menghentikan propagandanya sepertinya ya riskan karena berbisnis itu tidak dilanrang. Melarang adanya 'debt collector' sepertinya ya riskan pula bagi pihak pemberi utang karena keberadaan 'debt collector' adalah untuk menarik kembali uan yang dipinjamkan kepada pengutang manakala jatuh tempo telah tiba. Tentunya kedua pihak (pemberi utang dan pengutang) pasti telah mengadakan perjanjian tertulis secara legal mengenai ketentuan utang-piutang, to? Nah, maka dari itu lebih baik kita urus diri kita sendiri saja. Jangan sesekali utang jika kita tidak mampu mengembalikannya. Dikejar-kejar orang menagih utang itu tidak enak, bagaikan mengalami mimpi buruk. Saya tidak asal menulis karena saya juga pernah merasakannya. Dari situ saya menjadi tahu dan paham bahwa utang itu harus memliki etika. Utanglah selagi kamu mampu mengembalikan utang tersebut. Singkirkan gengsi, jangan pertaruhkan harga diri untuk sekedar menuruti sensasi. Anda akan tampak lebih baik menjadi diri anda sendiri ketimbang berlagak menjadi diri orang lain.

"Paolo Maldini tetaplah legenda, dengan atau tanpa gelar Piala Dunia." (Alessandro 'Billy' Costacurta).

[1] semaunya sendiri
[2] rem tidak berfungsi
[3] buah ranti (bahasa Jawa) mudah sekali pecah jika dipijit dengan jari

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun