Bagi Purbaya, masalahnya sederhana, Kalau Pertamina bergerak lebih cepat membangun kilang, impor bisa berkurang, subsidi bisa ditekan, dan kemandirian energi bisa lebih nyata.
Logika ekonominya masuk akal. Tapi dalam praktik, realitas di lapangan tidak sesederhana itu.
Balasan Ferdinand, Politik, Nasionalisme, dan Harga Diri Energi
Tak butuh waktu lama, kritik itu dibalas keras oleh Ferdinand Hutahaean, politikus PDI Perjuangan. Melalui akun Instagram-nya, Ferdinand meluncurkan kata-kata yang panas dan menusuk. Menurutnya, pernyataan Menkeu "nir informasi" dan "menyepelekan kerja besar bangsa".
Ia menyinggung proyek kilang Tuban, yang sejatinya sudah lama digarap Pertamina bersama perusahaan Rusia, Rosneft. Pertamina, kata Ferdinand, sudah menggelontorkan triliunan rupiah untuk pembebasan lahan. Namun proyek itu terhenti bukan karena malas, melainkan karena faktor geopolitik global, embargo Amerika Serikat terhadap Rusia akibat perang Ukraina.
"Purbaya tidak tahu bahwa membangun kilang itu tidak semata soal uang," tulis Ferdinand dengan nada kesal.
"Biasanya orang yang gampang menyepelekan masalah akan terjerembab di tengah jalan. Dan jatuhnya akan menjadi sangat menyakitkan."
Kalimat terakhirnya menggema di media sosial, jadi headline di banyak portal berita, dan mengubah diskusi teknis tentang kilang menjadi perdebatan politik terbuka antara pejabat dan partai pendukung pemerintah.
Kilang yang Tak Pernah Jadi, Antara Mimpi, Dana, dan Realitas
Untuk memahami polemik ini, kita perlu menengok sedikit ke belakang. Pembangunan kilang minyak di Indonesia adalah mimpi lama yang terus tertunda. Sejak 1990-an, wacana "menambah kapasitas pengolahan dalam negeri" sudah digaungkan, tapi realisasinya selalu terhambat oleh tiga hal klasik, pendanaan, teknologi, dan birokrasi.
Proyek kilang Tuban, misalnya, awalnya digadang menjadi simbol kebangkitan energi nasional. Pertamina bekerja sama dengan Rosneft untuk membangun fasilitas yang bisa mengolah 300.000 barel minyak per hari, dengan nilai investasi mencapai Rp211 triliun.
Namun, ketika Rusia terlibat dalam perang Ukraina dan dijatuhi sanksi global, proyek itu otomatis tersendat. Tak ada perusahaan internasional yang berani menyalurkan dana atau teknologi ke proyek yang terafiliasi dengan entitas Rusia.
Bukan cuma Tuban. Kilang Bontang juga sempat digadang menjadi proyek strategis nasional, tapi gagal menemukan mitra investor yang cocok. Padahal, jika proyek-proyek itu terealisasi, Indonesia bisa menghemat puluhan miliar dolar per tahun dari pengurangan impor BBM.
Jadi, apakah Pertamina malas? Atau memang sistem investasi energi kita terlalu kompleks dan rentan tekanan politik internasional?