Seorang anak bangun penuh semangat, mengenakan seragam putih-merahnya yang masih rapi, bergegas ke sekolah sambil tersenyum pada ibunya. "Nanti aku makan di sekolah, Bu. Gratis, lho!" katanya bangga. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang dirancang agar anak-anak tidak hanya kenyang, tetapi juga mendapat gizi yang baik.
Namun, siang harinya suasana berubah drastis. Anak yang tadi ceria mendadak muntah-muntah, wajahnya pucat, bahkan sebagian harus dilarikan ke rumah sakit. Kabar pun menyebar cepat, ratusan siswa di sekolah itu keracunan setelah menyantap makanan MBG.
Pertanyaannya, mengapa program yang seharusnya membawa kebaikan, justru membuat ribuan anak sakit?
Program Makan Bergizi Gratis tujuannya mulia, tapi kasus keracunan massal membuat orang tua resah dan pemerintah harus segera berbenah. - Tiyarman Gulo
Tujuan Mulia MBG
Sejak awal diluncurkan, MBG dipuji banyak pihak. Alasannya jelas, tidak semua anak Indonesia bisa sarapan bergizi di rumah. Banyak keluarga yang ekonominya terbatas, sehingga anak-anak berangkat sekolah hanya bermodalkan air putih atau sekadar sepotong singkong rebus.
Dengan MBG, pemerintah berharap,
- Anak-anak tidak lagi belajar dengan perut kosong.
- Asupan gizi lebih seimbang, sehingga tumbuh kembang mereka optimal.
- Orang tua merasa terbantu, karena beban biaya makan siang berkurang.
Visi ini sangat indah, bahkan menjadi simbol perhatian negara pada generasi muda. Tapi sebagaimana pepatah bilang, "jalan menuju niat baik tak selalu lurus."
Realita di Lapangan, Ribuan Kasus Keracunan
Fakta di lapangan tidak seindah brosur program. Sejak digulirkan, tercatat lebih dari 5.000 kasus keracunan akibat makanan MBG. Dari kota besar sampai desa terpencil, berita anak-anak yang dilarikan ke rumah sakit sudah seperti "lagu lama" yang diputar berulang.
Bayangkan rumah sakit kecil di daerah, ruang IGD penuh anak sekolah dengan seragam masih melekat, sebagian terbaring lemah di ranjang, sebagian lagi duduk di kursi plastik sambil menahan mual. Tenaga medis kelimpungan, orang tua panik, guru ikut merasa bersalah.
"Katanya makan bergizi, kok malah begini?" keluh seorang ibu di ruang tunggu.
Di Mana Letak Masalahnya?
Keracunan massal bukanlah hal yang sederhana. Ada banyak titik rawan dalam rantai penyediaan makanan MBG.
- Proses Memasak
Tidak semua vendor makanan punya standar higienis yang sama. Ada yang benar-benar menjaga kualitas, ada juga yang sekadar mengejar target jumlah. - Distribusi Panjang
Makanan dimasak di dapur pusat, lalu diantar ke berbagai sekolah. Dalam perjalanan berjam-jam, panas atau lembap bisa membuat makanan cepat basi. - Wadah/Ompreg
Pertanyaan yang ramai muncul, kenapa wadah makanan atau ompreng tidak seragam? Ada yang pakai plastik tipis sekali pakai, ada yang pakai wadah logam, ada juga yang sekadar kardus kertas. Wadah yang tidak steril bisa jadi sumber bakteri. - Kurangnya Pengawasan
Sering kali sekolah hanya menerima makanan tanpa bisa benar-benar mengecek kualitasnya. Apalagi jika jumlah murid ratusan, sulit bagi guru untuk memastikan semuanya aman.
Dampak Nyata bagi Anak dan Keluarga
Keracunan makanan bukan sekadar "sakit perut sehari." Ada dampak nyata yang lebih dalam,
- Trauma Anak
Banyak siswa yang jadi takut makan di sekolah. Mereka memilih tidak menyentuh makanan MBG meski perut lapar. - Kekhawatiran Orang Tua
Alih-alih merasa terbantu, orang tua malah was-was setiap kali anaknya ikut program ini. - Beban Biaya
Ironis, makanan yang katanya gratis justru membuat orang tua mengeluarkan biaya tambahan untuk berobat. - Citra Program Tercoreng
Harapan besar yang digadang-gadang pemerintah berubah jadi keraguan publik.
Kenapa Orang Tua Tidak Dilibatkan?
Banyak orang tua bertanya, kenapa mereka tidak dilibatkan dalam proses MBG? Padahal, mereka yang paling tahu soal kondisi anak, alergi makanan, hingga standar kebersihan yang layak.
Bayangkan jika sekolah membuka ruang partisipasi orang tua,
- Menu bisa didiskusikan bersama.
- Orang tua boleh ikut memantau dapur produksi.
- Ada mekanisme laporan cepat kalau ditemukan masalah.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa kasus menyebutkan orang tua diminta menandatangani surat pernyataan setelah anaknya keracunan. Bukannya mencari solusi, malah seperti menutup rapat-rapat masalah.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Kalau program MBG ingin terus berjalan, pemerintah tidak bisa sekadar mengandalkan niat baik. Harus ada langkah nyata,
- Audit Vendor Secara Ketat
Jangan semua penyedia makanan bisa ikut serta. Harus ada standar higienis, uji laboratorium, dan sanksi tegas jika melanggar. - Standarisasi Wadah/Ompreg
Jangan ada lagi ompreng abal-abal. Semua wadah harus sesuai standar makanan sehat dan bisa dicuci ulang dengan steril. - Distribusi Lebih Terukur
Kalau jarak dapur ke sekolah terlalu jauh, lebih baik ada dapur lokal per kecamatan. Jangan memaksa makanan bertahan berjam-jam di jalan. - Transparansi Menu dan Anggaran
Orang tua harus tahu apa yang dimakan anaknya dan dari mana asal bahan makanan tersebut. Transparansi bisa mencegah kecurangan. - Libatkan Orang Tua
Buat forum bersama orang tua di tiap sekolah untuk mengawasi jalannya MBG. Dengan begitu, kepercayaan publik bisa kembali dibangun.
Menutup dengan Pertanyaan Reflektif
MBG adalah program yang lahir dari niat mulia. Tapi niat saja tidak cukup. Kita bicara tentang anak-anak, generasi penerus bangsa. Sekali mereka kehilangan kepercayaan, sulit rasanya membangunnya kembali.
Pertanyaannya, apakah kita rela anak-anak menjadi korban atas nama program yang katanya bergizi gratis?
Kalau benar ingin masa depan bangsa sehat dan kuat, mari pastikan setiap suapan yang masuk ke mulut mereka benar-benar aman.
Karena pada akhirnya, makan bergizi bukan soal gratis atau tidak, tapi soal tanggung jawab kita menjaga mereka tetap sehat.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI