Malam sudah larut, lampu jalan temaram, suara jangkrik terdengar samar. Di ujung gang ada sebuah pos kecil dari kayu, dindingnya sebagian sudah mulai rapuh, tapi masih ada papan tulis bekas kapur putih yang mencatat jadwal ronda. Beberapa bapak-bapak duduk di sana, ada yang sibuk mengaduk kopi sachet di gelas plastik, ada yang merokok sambil bercerita soal harga beras, ada pula yang mulai menguap karena kantuk menyerang. Sesekali, kentongan digetok perlahan, seolah mengingatkan, "Kampung ini aman, kita masih berjaga."
Nah, pertanyaannya, masihkah suasana itu ada di sekitar kita hari ini? Atau pos ronda sudah hilang, tergantikan gerbang perumahan dengan satpam dan CCTV 24 jam?
Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan pentingnya meningkatkan kewaspadaan dini di lingkungan masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan mengaktifkan kembali siskamling dan mengoptimalkan peran Satlinmas (Satuan Perlindungan Masyarakat). Ide ini menarik, tapi juga menimbulkan pertanyaan, siapkah kita kembali ke tradisi lama itu, sementara zaman sudah banyak berubah?
Siskamling dihidupkan lagi, tapi pos ronda makin jarang. Tradisi ronda malam bernuansa kebersamaan kini ditantang modernisasi dan gaya hidup sibuk. - Tiyarman Gulo
Siskamling, Dari Tradisi ke Sistem
Siskamling atau Sistem Keamanan Lingkungan bukanlah hal baru. Jauh sebelum istilah itu populer, masyarakat Indonesia sudah mengenal budaya ronda malam sebagai bentuk gotong royong menjaga kampung.
Di era 80-90an, hampir semua kampung punya pos ronda. Fungsinya sederhana, tempat bergiliran jaga malam agar lingkungan tetap aman. Tapi, nilai yang dibawa jauh lebih besar, rasa solidaritas, kebersamaan, sekaligus hiburan di tengah kehidupan yang serba sederhana.
Bapak-bapak yang siangnya jadi tukang, pedagang, atau pegawai, malamnya bergantian duduk di pos ronda. Mereka tidak dibayar, tidak ada fasilitas mewah, hanya kopi sachet dan obrolan ngalor-ngidul sebagai teman. Namun dari situlah tercipta rasa aman, warga saling mengenal, saling menjaga, dan saling peduli.
Pos Ronda, Lebih dari Sekadar Tempat Jaga
Kalau dipikir-pikir, pos ronda dulu mirip "co-working space" versi rakyat jelata. Bedanya, bukan untuk kerja online, melainkan untuk,
- Nongkrong Anak muda kadang ikut nimbrung, sekadar main gitar atau ngobrol sampai dini hari.
- Ruang Diskusi Segala macam isu kampung, mulai dari iuran RT sampai gosip politik, sering dibahas di sana.
- Hiburan Murah Ada yang main catur, ada yang iseng main kartu remi, bahkan ada yang sekadar ketawa mendengar cerita lucu.
- Keamanan Kolektif Tentu saja, fungsi utamanya menjaga keamanan. Kentongan selalu siap digetok kalau ada hal mencurigakan.
Singkatnya, pos ronda bukan cuma tempat jaga malam, tapi juga ruang sosial yang memperkuat ikatan warga.
Kenapa Tradisi Ini Memudar?
Hari ini, coba keliling kota. Masihkah kamu melihat pos ronda berdiri tegak? Atau malah tinggal bekas pondasi yang dipakai anak-anak main petak umpet?
Ada beberapa alasan kenapa tradisi ini memudar,
- Kesibukan Warga Orang sekarang banyak yang pulang malam karena kerja, atau malah kerja dari rumah dengan ritme yang beda. Waktu untuk ronda semakin susah diatur.
- Individualisme Di perumahan modern, orang cenderung lebih tertutup. Tetangga sebelah rumah bisa saja tidak pernah saling sapa.
- Keamanan Diserahkan ke Profesional Satpam, CCTV, portal otomatis, bahkan aplikasi keamanan sudah menggantikan ronda manual. Warga cukup bayar iuran bulanan, tanpa perlu begadang.
- Perubahan Sosial Dulu anak muda masih betah nongkrong di pos ronda. Sekarang? Mereka lebih memilih nongkrong online lewat grup WhatsApp atau Discord.
Akibatnya, banyak pos ronda terbengkalai. Ada yang jadi gudang, ada yang roboh tak terurus, ada juga yang "disulap" jadi warung kecil.
Ketika Pemerintah Minta Dihidupkan Lagi
Instruksi Mendagri soal mengaktifkan kembali siskamling sebenarnya lahir dari kebutuhan nyata. Kasus kriminalitas, bencana, hingga konflik sosial masih bisa terjadi kapan saja. Sistem keamanan formal (polisi, satpam) tidak mungkin menjangkau semua titik. Maka, warga tetap perlu berperan aktif.
Namun, pertanyaannya, bagaimana cara menghidupkan kembali siskamling di zaman sekarang? Apakah masyarakat masih mau duduk bergantian di pos ronda dengan kopi sachet dan kentongan?
Pro dan Kontra Siskamling Era Modern
Kalau kita bicara soal siskamling sekarang, ada dua sisi mata uang,
Pro
- Meningkatkan rasa aman, kehadiran warga yang berjaga bisa mencegah kejahatan kecil.
- Membangun kebersamaan, interaksi antarwarga jadi lebih erat.
- Biaya murah, tidak perlu keluar banyak uang untuk satpam tambahan.
Kontra
- Kesibukan, banyak warga keberatan kalau harus ikut ronda.
- Kurang relevan, di kota besar, keamanan biasanya lebih efektif dengan teknologi.
- Potensi konflik, siapa yang tidak datang ronda bisa jadi bahan gunjingan, bahkan pertengkaran.
Bagaimana Supaya Relevan Lagi?
Kalau memang ingin diaktifkan kembali, siskamling harus beradaptasi. Tidak bisa lagi sekadar kopi sachet dan kentongan. Beberapa ide yang mungkin cocok,
- Kolaborasi Satpam + Warga Satpam tetap jadi garda utama, tapi warga sesekali ikut ronda. Jadi ada keseimbangan antara profesional dan partisipasi sosial.
- Integrasi Teknologi Ronda manual bisa dikombinasikan dengan grup WhatsApp RT, CCTV online, atau aplikasi keamanan lingkungan.
- Fokus ke Fungsi Sosial Pos ronda jangan hanya soal keamanan, tapi juga ruang interaksi warga. Misalnya, bisa dipakai buat rapat kecil, nonton bareng, atau kegiatan belajar anak.
- Sistem Fleksibel Tidak semua orang bisa jaga malam. Mungkin ada yang bisa menyumbang tenaga, ada yang menyumbang logistik, ada yang menyumbang biaya. Semua tetap terlibat sesuai kemampuan.
Apa yang Sebenarnya Kita Rindukan?
Mungkin yang kita rindukan bukan hanya "siskamling" dalam arti ronda malam. Lebih dari itu, kita merindukan suasana kebersamaan yang dulu terasa kental.
Kita rindu saat bapak-bapak ketawa terbahak mendengar cerita receh di pos ronda. Kita rindu saat kentongan dibunyikan bukan karena bahaya, tapi karena ada lomba tujuh belasan. Kita rindu saat kampung terasa benar-benar hidup, bukan sekadar deretan rumah dengan pintu tertutup rapat.
Jadi, ketika pemerintah ingin menghidupkan kembali siskamling, seharusnya bukan hanya soal keamanan. Lebih penting lagi, bagaimana cara menghidupkan kembali jiwa kebersamaan di tengah masyarakat yang makin individualis.
Penutup
Siskamling memang terdengar kuno, tapi nilainya abadi. Ia mengajarkan kita bahwa keamanan bukan hanya tugas polisi atau satpam, melainkan tanggung jawab bersama. Ia juga mengingatkan bahwa kehidupan bertetangga lebih indah kalau kita saling mengenal, saling peduli, dan saling menjaga.
Pertanyaannya sekarang, kalau aturan ini benar-benar dijalankan lagi, apakah lingkunganmu siap? Masih adakah pos ronda yang berdiri tegak, atau tinggal cerita yang kita kenang sambil tersenyum?.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI