Di tengah lanskap Alaska yang beku, dua pria paling berkuasa dan paling tak terduga di planet ini duduk berhadapan. Udara di luar mungkin dingin membeku, tapi di dalam ruangan itu, suhu politik dunia sedang dipertaruhkan. Di satu sisi, Donald Trump, sang miliarder flamboyan yang kembali ke panggung kekuasaan. Di sisi lain, Vladimir Putin, sang ahli strategi berwajah dingin dari Kremlin. Meja di antara mereka bukan sekadar kayu poles; itu adalah garis depan tak terlihat dari perang di Ukraina dan masa depan tatanan global.
Apa yang mereka bicarakan? Mengapa mereka bertemu? Dan yang terpenting, setelah jabat tangan usai dan pesawat kepresidenan lepas landas, apakah dunia menjadi tempat yang lebih aman, atau justru berada di ambang ketidakpastian yang lebih besar?
Drama geopolitik Trump & Putin. Pertemuan bersejarah mereka, dari Helsinki hingga Alaska, menjadi pertaruhan panas-dingin nasib dunia dan Ukraina. - Tiyarman Gulo
Misi Mustahil di Anchorage
Pada tanggal 15-16 Agustus 2025, kota Anchorage, Alaska, yang biasanya tenang, mendadak menjadi pusat gravitasi politik dunia. Pangkalan Udara Elmendorf disulap menjadi benteng diplomatik. Untuk pertama kalinya sejak 2019, Trump dan Putin kembali bertatap muka. Bagi Putin, ini adalah kunjungan pertamanya ke tanah Amerika sejak 2015, sebuah simbol penting yang menandakan ia tidak bisa lagi diabaikan oleh Barat.
Agenda utamanya? Satu kata yang menghantui dunia sejak 2022, yaitu Ukraina. Perang yang telah merenggut ratusan ribu nyawa dan menguras sumber daya global itu menjadi fokus utama pertemuan yang berlangsung selama hampir empat jam. Ini bukan obrolan ringan sambil minum kopi. Di meja itu, tergeletak proposal-proposal berat: gencatan senjata yang rapuh dan ide kontroversial tentang "pertukaran lahan" sebagai jalan keluar dari pertumpahan darah.
Dari luar, semua tampak berjalan mulus. Trump, dengan gaya khasnya, keluar dan menyebut pertemuan itu "sangat produktif." Putin, lebih terukur, menggambarkannya sebagai "konstruktif." Keduanya seolah memberi sinyal bahwa pintu dialog masih terbuka, bahkan mengisyaratkan kemungkinan pertemuan segitiga yang melibatkan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Suasananya pun dilaporkan positif, penuh rasa saling menghormati.
Tapi, seperti biasa dalam drama Trump-Putin, apa yang terlihat di permukaan seringkali menipu.
Di balik pintu tertutup, para kritikus berteriak. Bagi banyak analis, pertemuan ini adalah kemenangan telak bagi Moskow. Dengan berhasil membawa Presiden AS ke meja perundingan, Putin secara efektif telah memecah tembok isolasi yang dibangun Barat di sekelilingnya. Ia kembali menjadi pemain utama, bukan paria. Zelensky di Kyiv merasakan hal yang sama. Ia melihat pertemuan itu sebagai manuver yang lebih menguntungkan Putin, seolah nasib negaranya sedang dibicarakan di atas kepalanya.
Tidak ada kesepakatan formal yang ditandatangani di Alaska. Tidak ada janji damai yang diukir di atas batu. Yang ada hanyalah sebuah akhir yang menggantung, sebuah "bersambung..." yang membuat dunia semakin cemas. Pertemuan ini, pada akhirnya, adalah cerminan sempurna dari hubungan mereka. Penuh ambiguitas, di mana satu jabat tangan bisa berarti seribu hal berbeda.
Jejak Pertemuan
Untuk memahami betapa signifikannya pertemuan di Alaska, kita harus memutar waktu dan melihat jejak pertemuan mereka sebelumnya. Hubungan mereka ibarat serial drama dengan beberapa episode yang benar-benar eksplosif.
Episode paling legendaris, tak diragukan lagi, adalah KTT Helsinki 2018. Pada 16 Juli di ibu kota Finlandia itu, dunia menyaksikan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam konferensi pers bersama, di hadapan ratusan jurnalis, Donald Trump ditanya tentang campur tangan Rusia dalam pemilu AS 2016. Di sampingnya berdiri Vladimir Putin. Alih-alih mendukung kesimpulan badan intelijennya sendiri (CIA, FBI), Trump justru tampak lebih memercayai bantahan Putin.
"Presiden Putin bilang itu bukan Rusia. Saya akan bilang, saya tidak melihat alasan mengapa itu (Rusia)," ujar Trump saat itu.