Coba bayangkan sejenak. Anda adalah seorang pelajar. Setelah berbulan-bulan penat dengan ujian dan tugas sekolah, Anda bersama teman-teman mengikuti sebuah retret. Sebuah acara untuk menenangkan diri, berdoa, dan membangun keakraban di sebuah vila yang sejuk dan damai di daerah Cidahu, Sukabumi. Suasananya tenang, penuh tawa, dan lantunan doa yang khusyuk.
Sekarang, bayangkan ketenangan itu tiba-tiba pecah. Suara nyanyian damai digantikan oleh teriakan amarah dari luar. Pintu digedor, kaca-kaca jendela pecah berhamburan. Sekelompok massa merangsek masuk, membubarkan kegiatan Anda secara paksa, merusak fasilitas, bahkan menurunkan simbol-simbol keyakinan Anda dengan kasar. Rasa damai berganti jadi takut. Rasa aman berganti jadi teror.
Ini bukan adegan dalam film thriller. Ini adalah kisah nyata yang dialami oleh para pelajar Kristen dalam sebuah retret di Cidahu, Jumat, 27 Juni 2025. Sebuah peristiwa yang videonya menyebar cepat, menampar wajah kita semua dan meninggalkan satu pertanyaan besar yang menusuk, Masih adakah tempat untuk berbeda keyakinan di negeri yang katanya Bhinneka Tunggal Ika ini?
Pembubaran paksa retret pelajar di Cidahu menyoroti kegagalan negara melindungi hak beribadah dan menjadi cermin retaknya toleransi di Indonesia. -Tiyarman Gulo
Kepingan Puzzle dari Sebuah Tragedi
Kabar ini pertama kali meledak lewat media sosial. Akun Instagram @sukabumisatu membagikan video yang membuat banyak orang mengelus dada. Ratusan warga terlihat mendatangi sebuah rumah di Desa Tangkil, Cidahu, yang mereka duga dijadikan "tempat ibadah" tanpa izin.
Dalam sekejap mata, suasana menjadi brutal. Video menunjukkan sekelompok orang menurunkan benda yang tampak seperti salib kayu. Meja, kursi, dan properti lainnya dihancurkan. Teriakan-teriakan penuh amarah terdengar, ditujukan kepada para peserta retret yang tak berdaya.
Namun, di balik narasi massa yang marah karena "izin", ada cerita lain yang lebih dalam. Menurut Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), ini bukanlah upaya mendirikan gereja ilegal. Ini murni kegiatan retret pelajar yang sifatnya temporer. Mereka dibubarkan paksa, diintimidasi, dan properti mereka dirusak. Sebuah tindakan yang, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, bukan lagi sekadar pelanggaran, melainkan sebuah tindakan kriminal.
"Negara tidak boleh membiarkan tindakan massa main hakim sendiri," tegas Usman. Sebuah kalimat singkat yang menohok langsung ke jantung permasalahan.
Bukan Lagi Soal Izin, Tapi Soal Tugas Negara yang Gagal
Mari kita berhenti sejenak dari keriuhan massa dan perdebatan soal izin. Usman Hamid, yang juga seorang dosen hukum, mengajak kita melihat gambaran yang lebih besar. Menurutnya, insiden Cidahu adalah bukti nyata gagalnya negara menjalankan mandat konstitusi.
Tunggu, apa itu "mandat konstitusi"?
Sederhananya begini: Indonesia punya "buku panduan" tertinggi bernama Undang-Undang Dasar 1945. Di dalamnya, ada aturan main yang paling fundamental. Pasal 29 ayat (2) menyatakan dengan sangat jelas, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Perhatikan kata kuncinya, Negara menjamin. Artinya, negara punya tugas, punya kewajiban, untuk memastikan setiap warganya, siapapun dia, apapun agamanya, bisa beribadah dengan tenang dan aman. Bukan hanya tugas polisi di lapangan, tapi tugas seluruh sistem kenegaraan.