Kupang Barat, NTT - Produksi rumput laut Nusa Tenggara Timur (NTT) tak lagi sekuat dulu. Produksi yang pernah melambung kini perlahan goyah. Angka-angka yang dicatat dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Badan Pusat Statistik memperlihatkan tren yang naik-turun. Tahun 2018, hasil panen sempat mencapai 1,8 juta ton, lalu turun pada tahun 2019 menjadi 1,6 juta ton. Lonjakan besar terjadi di tahun 2020 dengan 2,15 juta ton, sebelum akhirnya merosot tajam ke 1,39 juta ton pada 2021. Meski pada tahun 2022 mencatat sedikit kenaikan, capaian itu masih jauh dari masa keemasan.
Penyebabnya? Bibit yang kurang berkualitas, penyakit ice-ice, serta tekanan lingkungan yang makin sulit diprediksi. Masalah ini bukan sekadar soal angka produksi, tapi menyangkut masa depan ribuan keluarga pesisir yang hidup dari budidaya rumput laut.
Kolaborasi untuk Solusi
Kondisi tersebut mendorong Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang menggelar edukasi dan pelatihan budidaya rumput laut selama dua hari di Pantai Oesina, Kupang Barat. Program ini merupakan bagian dari Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat sekaligus mendukung Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PT PLN (Persero) UIP Nusa Tenggara.
Sebanyak 60 peserta ikut terlibat, terdiri atas 45 pembudidaya, penyuluh perikanan Kabupaten Kupang, civitas akademika, serta tamu undangan. Materi disampaikan pada 18 September 2025 di Pusat Informasi Ekowisata TNP Laut Sawu, sedangkan praktik lapangan pada 19 September 2025 dilakukan langsung di lokasi budidaya masyarakat Pantai Oesina.
Belajar dari Pantai Oesina
Hari pertama dibuka dengan materi dari Dr. Wilson L. Tisera, pakar rumput laut dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Ia menegaskan bahwa produksi hanya bisa stabil jika petani memahami tiga kunci: bibit, lingkungan, dan kalender musim.
“Beda musim, beda lokasi, hasilnya juga akan beda. Petani harus jeli membaca tanda-tanda alam,” ujarnya.
Wilson mendorong penerapan CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik): menyesuaikan kedalaman tanam, mengurangi kepadatan rumpun, rajin membersihkan epifit, memilih varietas tahan penyakit, hingga menghindari area padat lamun. Menurutnya, strategi diversifikasi strain, polikultur, serta memanfaatkan senyawa alami dari mangrove juga bisa membantu petani melawan penyakit.
Seleksi Varietas: Menjaga Harapan
Hari kedua, fokus beralih ke seleksi varietas-strategi jangka panjang yang diharapkan bisa menghasilkan bibit unggul lebih cepat. Proses ini dilakukan secara sistematis: dari G1, G2, G3, P1, hingga P2, dalam periode enam bulan.
- Pada tahap awal, setiap rumpun bibit ditimbang sekitar 50 gram, dengan total 230 rumpun yang ditanam pada tali sepanjang 50 meter.
- Seleksi dilakukan bertahap, mulai dari 10% untuk G1-G3, 20% untuk P1, dan hingga 90% untuk P2 berdasarkan Laju Pertumbuhan Harian (LPH) terbaik.
- Semua hasil dipantau lewat monitoring bulanan, lengkap dengan analisis kandungan kimia.
Metode ilmiah ini diharapkan mampu menghasilkan bibit tahan penyakit sekaligus berdaya tumbuh tinggi. Dengan begitu, petani tak hanya bisa memenuhi kebutuhan lokal, tapi juga berpotensi menjadi penyedia bibit unggul bagi daerah lain.
Masa Depan Rumput Laut NTT