Herbert Marcuse adalah salah satu tokoh generasi pertama Mazhab Frankfurt. Banyak karya yang telah ia ciptakan seperti buku A Critique of Pure Tolerance, An Essay on Liberation, One-Dimensional Man dan sebagainya. Namun dalam hal ini akan menggunakan One-Dimensional Man.Â
Dalam karya One-Dimensional Man, secara generalnya Marcuse mengkonsepkan manusia cenderung memandang sekaligus memenuhi kebutuhannya based keinginannya bukan kebutuhan pokok [primary needs of human (beings)], yang dipengaruhi oleh rasionalitas teknologi.Â
Kontemporer ini, hadirnya rasionalitas teknologi malah menjebak manusia dalam dominasi kapitalis, yang mana semula ditujukan untuk membebaskan dari hal-hal yang irasional menjadi rasional, namun beberangen dengan itu keterikatan baru muncul dengan menempatkan manusia dibawah kendali kapitalisme.Â
Arus dominan transformasi tersebut akan terlihat ketika manusia terjebak (secara inheren) dalam suatu konsensus tunggal atau yang (telah) ditetapkan. Implisit indoktrinasi tersebut adalah seperti nilai, norma, kultur massa, serta pada kebebasan individu yang kian menghilang dan nalar kritis makin terkikis.
Salah satu bentuk nyata dalam realita adalah standar kecantikan. Identifikasi dari konstruksi sosial tersebut adalah standar kecantikan (yang) seolah berlaku secara universal di tengah kehidupan masyarakat, yang mana berdasarkan pada tampilan fisik yang sempurna. Sehingga akan ada stereotifikasi terhadap perempuan. Jika tidak memenuhi standar tersebut maka tidak diakui sebagai perempuan cantik. Sedangkan, pada hakikatnya kecantikan itu menurut pandangan dan interpretasi orang beda-beda atau bersifat subjektif.
Pengaruh Kuasa Media terhadap Kontruksi Sosial
Perspektif new totalitarianism sebagai implikasi dari teori One-Dimensional Man mengindikasikan sebuah fenomena baru bahwa media adalah wahana mencuci otak bagi para audiens atau konsumennya. Dalam hal ini, media (kadung) terkapitalisasi dengan menyuguhkan berbagai iklan yang merujuk ke akumulasi kapital.
Dalam hemat penulis salah satu yang menonjol, yang kemudian dinilai mengglorifikasi tatanan sosial adalah iklan kecantikan. Dalam hal ini adalah Wardah Kosmetik yang mengiklankan produk pembersih wajah Lightening BB Cream A True Multitasker. Dalam komposisi produk tersebut terdapat kandungan Licorice, Vitamin C dan Vitamin B3, yang dinilai membuat wajah bisa cantik.
Anggapan lain bahwa iklan tersebut berupaya mengkampanyekan bahwa definisi perempuan cantik haruslah memiliki wajah yang 'cerah' sehingga dalam produknya sendiri terselip kata 'lightening'. Lighting yang dimaksud tersebut merujuk ke wajah yang putih, tanpa jerawat, halus, kulit kencang dan tekstur kenyal bak Tatjana Saphira. Tatjana Saphira merupakan bintang iklan dalam produk Lightening BB Cream A True Multitasker yang dinilai dapat memvisualisasikan standar beauty dengan memiliki wajah yang cantik, berkulit putih, hidung mancung, berambut lurus dan berat badan proporsional. Dalam segmentasi dari produk Wardah Kosmetik tersebut adalah perempuan berusia 20-30 tahunan. Di usia tersebut adalah usia masa penggalian jati diri sehingga segala bentuk upaya untuk memperbaiki outer maupun inner beauty tergolong masih cukup tinggi.
Branding tersebut memiliki efek yang signifikan terutama bagi perempuan, yaitu meningkatnya tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang mengharuskan setiap perempuan memiliki wajah yang mirip dalam iklan itu. Berbarengan dengan itu, dapat menggugah perempuan untuk mengejar standar kecantikan baru yang dikampanyekan melalui media. Di sisi lain tidak sadar bahwa bahwa hal tersebut justru sebenarnya semakin kontras akan ketidakseimbangan sosial. Kemudian citra nilai perempuan seringkali hanya dinilai dari penampilan fisik saja. Kendati demikian, hirarkinya standar-standar tersebut diciptakan oleh kapitalis yang memiliki kepentingan untuk memperluas pemasaran produk-produk mereka.
Sehingga tak jarang timbul dampak nyata dengan munculnya fenomena "body shaming", yang kemudian (secara inheren) turut mempengaruhi berbagai gangguan kesehatan mental seperti rasa tidak aman, berpikir berlebihan, dan depresi bagi perempuan. Seorang perempuan yang tidak memenuhi standar kecantikan (kadung dibentuk propaganda kapitalis) tersebut seringkali menjadi sasaran cemoohan atau diskriminasi kemudian dirinya merasa insecure.
Tinjnauan One-Dimensional Man: Terkapitalisasinya Media dan Pelanggengan Patriarki
Propaganda kapitalis melalui promosi produk kecantikan pada berbagai jenis media, baik konvensional maupun digital, dapat menciptakan keseragaman perilaku dan kebutuhan yang dikenal dengan istilah Teori One-Dimensional Man, sebuah konsep dalam Teori Kritis yang dikembangkan oleh Marcuse. Iklan menjadi elemen kunci dalam teori ini yang memfasilitasi terjadinya keseragaman tersebut. Dampak dari penyebaran standar kecantikan yang diglorifikasi melalui iklan produk kecantikan itu adalah mendorong perempuan untuk mengejar standar tersebut, yang sering kali menggambarkan kecantikan haruslah yang cerah, bersinar, seksi, dan feminin. Standar kecantikan ini juga berkontribusi dalam mengubah tubuh perempuan menjadi komoditas ekonomi. Proses pertukaran ini melibatkan penggunaan selebritas atau influencer yang dinilai memenuhi standar kecantikan tersebut sebagai cara untuk menarik minat konsumen dan meningkatkan keuntungan bagi kaum kapitalis. Dalam kerangka keseragaman yang ditetapkan oleh standar kecantikan, objektifikasi dan budaya patriarki juga terus dipertahankan dan diperkuat.
Menurut Marcuse dalam teori One-Dimensional dan new totalitarianism, konstruksi sosial melalui standarisasi kecantikan ini, menandakan bahwa manusia (terkhusus perempuan) belum benar-benar merdeka dan bebas. Kontemporer ini, secara sadar (maupun tidak) masyarakat kadung diarahkan oleh kuasa kaum kapitalis melalui rasionalitas teknologi (dalam hal ini media) untuk mendapatkan kekayaan ke sebanyak banyaknya. Kemudian akan bermuara ke diri sendiri. Masyarakat dijadikan konsumen, yang sebetulnya mereka sendiri yang sebetulnya menjadi bahan konsumsi pasar. Lalu hadirnya rasionalitas teknologi yang dipropagandakan melalui media (apakah) hanya melihat bagaimana barang itu (baca: Wardah Kosmetik) bekerja atau mengenai barang itu sendiri? Lantas kemudian apakah barang telah kehilangan konsistensi ontologisnya sehingga menciptakan konstruksi sosial kultur standar kecantikan yang kadung terbakukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H