Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jodoh Bukan di Tangan Tuhan

4 November 2020   13:25 Diperbarui: 4 November 2020   13:33 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sebuah angkutan umum di kota Tangerang, beberapa tahun lalu saat kendaraan umum berupa minibus yang dimodifikasi sedemikian rupa masih merajai jalan-jalan di perkotaan, seorang pria muda tanpa sengaja menginjak kaki seorang gadis, yang kebetulan juga masih muda belia.  Sontak sang gadis menjerit tiada terkira, membuat penumpang lain kaget bukan kepalang.  Dibarengi rasa malu dan bersalah tiada terhingga, sang pemuda meminta maaf sambil berpikir, bagaimana mungkin sepatu kets lembut yang dipakainya bisa membuat orang yang terinjak merasa demikian kesakitan

 Ternyata, jempol kaki sang gadis sedang bengkak dan sakit, yang biasa dikenal dengan nama "cantengan".  Cantengan terkutuk tersebutlah yang menimbulkan kesakitan yang amat sangat manakala terinjak.

Berawal dari peristiwa "terinjak" tanpa sengaja namun sangat menyakitkan tersebut, perkenalan di antara keduanya berlanjut hingga ke jenjang pernikahan.  Tak dijelaskan bagaimana kehidupan mereka selama menikah, apakah sang istri masih menyimpan dendam kesumat tiada berbatas atas peristiwa tersebut atau melupakannya, yang jelas hingga kini pasangan tersebut sudah memiliki tiga anak yang terdiri dari dua pria dan satu wanita.  Ketiganya sudah menjelang dewasa dan remaja.

Kasus pertemuan tak sengaja yang terjadi puluhan tahun lalu juga dialami sebuah pasangan lain dengan ceritanya sendiri.  Dimulai manakala sang pria secara tak sengaja menemukan sebuah dompet yang tercecer di sebuah warung.  Berbekal alamat yang tertera di kartu tanda penduduk, sang pria dengan berdebar hebat mendatangi rumah si pemilik dompet yang kebetulan juga seorang gadis belia.

Kejadian tersebut terjadi sekira awal tahun sembilan puluhan di mana telpon genggam belum banyak seperti sekarang, dan telpon rumah pun hanya dimiliki segelintir orang.  Singkat cerita, perkenalan berlanjut kepada pertemanan hingga berakhir di jenjang pernikahan.  Kedua pasangan tersebut kini sudah memiliki cucu.

Masih tentang peristiwa pertemuan sekitar dua puluh delapan tahun lalu.  Seorang pemuda pekerja pabrik yang baru mulai bekerja, setelah lulus kuliah berbelanja di sebuah super market, dengan tujuan membeli pakaian.  Seperti pramuniaga toko pada umumnya, pramuniaga yang melayani sang pemuda pun manis pula adanya serta masih muda belia, sekitar usia delapan belas tahun karena baru lulus SMA.  Begitu melihat bentuk mata si gadis, sang pria yang sehari-harinya berurusan dengan sumber daya manusia paham belaka bahwa gadis di hadapannya adalah seorang gadis pintar dan cerdas.  Hanya masalah nasib sajalah sehingga ia tak melanjutkan ke perguruan tinggi. 

Sang pria jatuh cinta dengan kecerdasan tersembunyi si gadis manis, hingga lima tahun kemudian mereka menikah.  Kini setelah menjalani pernikahan yang diisi dengan penuh kerja keras, mereka sudah dikaruniai dua orang putri dewasa yang manis dan cerdas pula adanya, pasti turunan dari sang ibu.

Sang gadis, yang pada awal pernikahan memasak nasi pun menjadi bubur, kini menjelma menjadi seorang wanita karir yang memiliki kantor dan karyawan sendiri, setelah selama menikah menjalani peran sebagai pekerja, mahasiswa dan mengurus anak.  Adapun sang suami masih tetap seperti sedia kala, menjadi penggiat sumber daya manusia, dan pengkhayal.  Kini sedang menulis artikel yang dibaca sambil lalu oleh yang terhormat sidang pembaca sekalian.

Jodoh Online

Di beberapa negara maju, seperti Jepang, Korea, Singapura para orang tua kaum milenial banyak yang mengalami kecemasan, oleh sebab minat anak-anak muda sekarang untuk bersosialisasi menurun drastic.  Mereka hanya akan melakukan relasi social sepanjang hubungan yang dibangun memiliki arti penting bagi dirinya.  Di sinilah sesungguhnya "kekejaman" ibu kota yang paling hakiki, yaitu " memisahkan orang-orang yang tidak memiliki kepentingan yang sama". 

Seorang ekspatriat asal Korea Selatan merasa resah, karena anak gadis semata wayangnya yang kini sudah berusia tiga puluh tujuh tahun, belum menunjukkan tanda-tanda akan menikah.  Di Jepang, beberapa waktu lalu pernah muncul trend kaum wanita mudanya lebih memilih memelihara reptile ketimbang menjalin hubungan yang berlanjut dengan pernikahan.  Memang kebetulan di Korea dan Jepang budaya patriarkinya masih cukup kental, sehingga para wanita yang merasa sudah terdidik dan modern enggan berada di bawah tekanan suami di kemudian hari.

Lain Jepang, lain Korea, lain pula di Singapura.  Alasan keengganan menjalin hubungan yang dilanjutkan ke jenjang pernikahan lebih mengacu kepada alasan ekonomi.  Enggan pacaran karena sibuk membina karir, dilanjutkan dengan enggan menikah karena pernikahan yang dilanjutkan dengan lahirnya anak membutuhkan biaya besar.  Khas negara-negara maju, tak punya uang berarti mati.  Jika demikian adanya, kelanjutan umat manusia di negara tersebut suatu saat bakal terhenti dan punah.

Di bumi pertiwi, ceritanya agak bertolak belakang.  Banyak pasangan yang tidak memiliki pekerjaan yang pasti namun tetap nekat membina rumah tangga.  Masalah bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidupnya, nanti saja dipikirkan.  Lebih celaka lagi, kehidupan pernikahan di negeri ini senantiasa dikaitkan erat dengan kepemilikan anak.

Jadi jika sebuah pasangan sudah menikah, mereka akan terus ditanya oleh segenap handai taulan serta sanak family.  Kapan kiranya akan punya anak, jika sudah punya anak, ditanya lagi sudah lengkap belum jenis kelamin para anak.

Jika punya dua anak memiliki jenis kelamin sama, disarankan menambah satu lagi yang jenis kelamin berbeda, agar lengkap kebahagiaannya.  Masalah bagaimana cara mereka mencukupi biaya hidup, bukan urusan penanya. Jika dijawab, "Udah ah, cukup, berat biayanya.", sang penanya akan menambahkan, "Jangan khawatir, anak membawa rejekinya masing-masing.", atau "Banyak anak banyak rejeki.".  Silahkan saja sampaikan nasihat tersebut kepada orang Singapura, sambil tak lupa bersiap-siap jika ada benda melayang menghampiri kepala kita, dari lawan bicara.

Terlepas dari mau tidaknya sebuah pasangan menikah, langkah awal dari terjalinnya sebuah hubungan adalah ada tidaknya jodoh yang dipertemukan kepada kita.  Mencermati kondisi kehidupan sekarang, pertemuan yang diawali dengan kisah kasih di atas nyaris sulit terjadi.  Bayangkan jika anak gadis sekarang terinjak kakinya yang sedang sakit, sang penginjak tidak ditempeleng pun sudah beruntung.  Atau seseorang yang kehilangan dompet, dan menerima telpon dari pria sang penemu untuk bertemu, bisa jadi anak gadis yang kehilangan akan menemuinya ditemani dengan sanak family serta polisi pamong praja sekaligus.  Berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.  Dan cerita serupa tentang pramuniaga dan pembeli, mohon dengan segala hormat, tidak dicarikan padanannya, oleh karena sang pembuat cerita termasuk orang yang egois.

Jika kita mengharapkan jodoh dari Tuhan, seperti halnya orang jaman dulu sering menenangkan anaknya yang tak kunjung ketemu jodoh, pun sudah tidak relevan.  Oleh sebab Tuhan sudah menyiapkan beraneka media social, konten jodoh, aplikasi kencan online dan sebangsanya yang  bisa diakses dengan mudah oleh siapapun yang ingin mencari pasangan untuk alasan-alasan yang hanya dipahami oleh yang bersangkutan belaka. 

Berharap menemukan jodoh di area public, di tengah maraknya pandemic corona, jauh lebih sulit lagi.  Setelah nyaris semua orang mengenakan masker, jaga jarak dan dihimbau untuk tidak berbicara satu sama lain, jangankan manusia, malaikat pun bingung tentang bagaimana cara mereka yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama untuk memulai percakapan.

Akhir kata, kita sebagai umat manusia, sesungguhnya memiliki kewajiban untuk mencari pasangan demi melanjutkan kehidupan di muka bumi. Gunakanlah segala daya dan upaya yang kita miliki, manfaatkan segala fasilitas yang ada, dan jangan bercita-cita untuk menjadi orang yang hidup sendirian hingga ajal menjemput.  Karena sesungguhnya, manusia diciptakan berpasang-pasangan bukan tanpa alasan, kecuali dengan hidup kita yang sendirian akan mampu dan berguna untuk menyelamatkan kehidupan umat manusia lain di muka bumi.  Misalnya jadi guru, pemuka agama, rohaniawan, pekerja social yang sepanjang harinya total mengabdikan diri untuk kepentingan umat manusia, tanpa perlu cemas memikirkan kehidupan anak istri di rumah yang juga harus dipenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Tangerang, 4 Nopember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun