Mohon tunggu...
Titis Apdini
Titis Apdini Mohon Tunggu... -

Indonesian - http://apdini.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengintip Pengolahan Sampah di Skandinavia

23 Februari 2015   03:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:41 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tertarik untuk mengambil spesifikasi di bidang lingkungan, koordinator program studi yang saya ikuti menyarankan untuk belajar selama satu semester di Denmark. Salah satu negara di Skandinavia yang memiliki misi menjadikan ibu kotanya, Copenhagen sebagai “The Most Sustainable City in The World”. Sebagai informasi, Skandinavia adalah semenanjung di bagian Eropa Utara yang terdiri dari tiga negara yaitu Denmark, Swedia, dan Norwegia. Konon negara ini bersatu di bawah Kerajaan Denmark sampai akhirnya masing-masing memisahkan diri.

Menarik, setelah membaca berbagai artikel dari internet saya menemukan bahwa Skandinavia adalah tempat diprakarsai berbagai pertemuan internasional di bidang lingkungan karena komitmen pemerintahnya dalam isu terkait. Berbicara tentang kehutanan, ternyata kepedulian negara Skandinavia terhadap konservasi menjadi teladan bukan hanya secara teknis namun juga segi kebijakan yang diterapkan. Kesempatan tinggal di Denmark juga saya manfaatkan untuk sekaligus melihat negara tetangga dan mengintip seperti apa masyarakatnya menjaga lingkungan sekitar mulai dari hal sederhana yaitu membuang sampah.

Awal September 2014 lalu, saya berangkat ke Denmark untuk memulai semester di Aarhus University. Minggu pertama setelah kedatangan, saya tinggal bersama hosting family. Sebuah keluarga kecil yang baru dikaruniai seorang putra. Sesampai di kamar, tuan rumah mengenalkan tata letak ruangan agar saya senyaman mungkin tinggal di sana. Urusan membuang sampah, dia memberi instruksi kalau semua dikumpulkan di tempat sampah dan tidak ada pemilahan di sini. Lalu bagaimana pengolahannya nanti setelah seluruh sampah rumah tangga dikumpulkan? Menurut informasi yang diberikan, mereka memiliki mesin pemilah sampah sebelum memprosesnya lebih lanjut.

Saya berpindah ke asrama mahasiswa seminggu kemudian. Lagi-lagi tidak ada pemilahan sampah di gedung itu. Hanya botol kaca dan kertas yang dimasukkan dalam kotak daur ulang di depan pintu utama asrama. Sementara botol minuman dengan tanda khusus bisa dijual kembali dengan memasukkan ke mesin di supermarket terdekat. Biasanya usai pesta besar atau sekedar common dinner setiap minggu, kami bisa menambah kas bersama dengan menjual botol dan kaleng bekas kemudian membeli pizza atau makanan ringan lainnya.

Ketika liburan akhir tahun tiba, saya memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan ke negara Skandinavia lainnya. Selama tiga hari di Swedia, saya mengunjungi Stockholm dan Uppsala. Dilihat dari sistem pemilahan sampahnya, mirip dengan apa yang selama ini diterapkan di asrama. Hanya botol kaca, kaleng, dan kertas yang dipisahkan untuk didaur ulang. Secara tidak sengaja ketika saya lewat di depan H&M, salah satu cloth brand asli Swedia, ada poster yang memasang tanggal di mana toko tersebut menerima baju bekas layak pakai untuk dijual. Menurut informasi yang saya tangkap, baju itu akan didesain ulang. Saya pernah melihat aktivitas serupa di sebuah toko pakaian di Berlin, Jerman. Mereka menamainya “Trashion” dimana baju yang dijual adalah desain terbaru dari baju lama layak pakai.

Masih melanjutkan hari liburan, perjalanan dilanjutkan ke Oslo, Norwegia. Saya menumpang di apartemen seorang desainer interior yang sudah sembilan tahun belajar dan bekerja di Oslo. Perempuan muda itu menjelaskan berbagai perabotan yang bisa digunakan. Ketika kami masuk dapur, saya melihat ada empat kotak sampah dengan spesifikasi jenis sampah masing-masing yaitu: organic waste (sisa makanan), plastik, kertas, dan others (botol, kaca, kepingan CD, lain-lain). Setiap bulan ada buletin yang diedarkan oleh pemerintah kota Oslo disertai dengan laporan data sampah rumah tangga yang dikumpulkan. Persentase tertinggi adalah sampah organik yang terdiri dari bagian bahan-bahan yang tidak dimasak, sisa makanan di piring yang tidak habis, termasuk yang sudah basi. Sudah lima tahun kegiatan memilah sampah ini mulai dijalankan di Oslo. Awalnya sosialisasi mulai digalakkan melalui surat edaran setiap bulan. Pemerintah kota berusaha seaktif mungkin memberi edukasi pada masyarakat melalui iklan di radio dan poster.

Akhir tahun, setelah lebih dari seminggu melancong saya kembali ke Denmark. Tidak langsung pulang ke Aarhus, tetapi mampir Copenhagen dulu untuk bertemu teman lama. Namanya Vincent, saat ini dia sedang studi tingkat PhD fokus pada Solid Waste Management. Sebelumnya kami hanya diskusi sepintas melalui media sosial karena dia sering membagi artikel tentang Food Waste. Saya bercerita tentang perbedaan pemilahan sampah rumah tangga dari berbagai tempat yang baru dikunjungi. Menurut Vincent, kebijakan pemilahan sampah di negara-negara Skandinavia berbeda bukan hanya antar negara, bahkan antar kommune (municipality). Alasannya adalah tidak semua wilayah menilai daur ulang merupakan cara efektif untuk mengolah sampah. Beberapa studi mengatakan bahwa daur ulang kertas membutuhkan lebih banyak energi sehingga dinilai menghasilkan emisi lebih tinggi.

Sekitar 400 Euro harus dibayar oleh pengelola tiap gedung di Denmark untuk biaya pengolahan sampah dan air limbah. Biaya tersebut akan dikenakan sejak pertama kali menyewa gedung atau apartemen bersama dengan pajak. Jumlah yang tergolong banyak untuk dihabiskan demi pengolahan sampah. Oleh karena itu, Vincent melakukan penelitian yang fokus pada statistik jenis sampah di suatu negara. Data tersebut kemudian akan digunakan oleh perusahaan swasta yang ditunjuk pemerintah Denmark untuk mengolah sampah. Karena mekanisme pengolahan sampah yang efisien dapat menurunkan biaya yang dikeluarkan.

Lalu, bagaimana pengolahannya selama ini? Sampah rumah tangga yang dikategorikan sebagai solid waste dikumpulkan dan dibakar untuk menghasilkan energi panas yang kemudian digunakan sebagai sumber listrik. Setiap instalasi pembakaran sampah memiliki peralatan filtrasi sehingga gas yang dihasilkan berada pada titik aman untuk dilepaskan dari cerobong. Vincent juga menunjukkan lokasi tempat pembakaran sampah di Copenhagen yang ternyata dekat dengan perumahan penduduk. Jika dilihat dari luar terlihat seperti pabrik. Masyarakat pun tahu kalau itu adalah tempat pembakaran sampah dan sudah didesain sedemikian rupa demi keamanan lingkungan.

Secara teknis, saya memang belum memiliki kapasitas untuk melihat lebih dalam mengenai pengolahan sampah di Skandinavia. Satu hal yang saya amati adalah adanya sistem yang mendukung pengolahan sampah mulai dari kerja sama pemerintah dengan institusi pendidikan dan perusahaan swasta, disusul dengan pembuatan peraturan, sampai dengan edukasi masyarakat yang terus menerus dilakukan. Tahun 2015, bersamaan dengan Hari Peduli Sampah Nasional saya juga ingin kembali mengingatkan seruan “Menuju Indonesia Bersih Sampah 2020” dari Menteri Lingkungan Hidup periode sebelumnya, Bapak Balthasar Kambuaya. Jadi, Indonesia sudah bergerak sejauh apa untuk visi tersebut? Akan lebih mudah rasanya kalau kita mendukung upaya pemerintah mewujudkan misinya mulai dari komitmen diri sendiri dengan mengubah gaya hidup lebih ramah lingkungan.

Dukung juga upaya Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) untuk mendorong pemerintah menciptakan peraturan diet katong plastik, salah satunya dengan menandatangani petisi di Change.Org.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun