Dulu aku pikir "rumah" adalah tempat paling aman di dunia.
 Tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa takut dihakimi.
 Tempat di mana aku bisa jatuh, dan akan selalu ada tangan yang siap menampungku.
Tapi semakin aku bertumbuh, aku sadar...
 Yang aku panggil rumah, ternyata tempat paling asing buatku.
Bukan karena aku tidak mengenal wajah-wajah di sana,
 tapi karena aku harus pura-pura kuat setiap kali masuk ke dalamnya.
Di rumah, aku sering kali bukan aku.
 Aku menyembunyikan tangis, menahan kecewa, dan berpura-pura tersenyum agar tidak dianggap "cengeng".
Padahal hatiku ingin berteriak,
 "Aku juga butuh dipeluk! Aku juga capek! Aku juga ingin dimengerti!"
Tapi di rumah, hal-hal seperti itu kadang dianggap lemah.
 Dan aku belajar diam, menyimpan semua sendiri.
Menurut psikologi, seseorang bisa mengalami "emotional homelessness" perasaan tidak memiliki tempat yang benar-benar aman secara emosional, meskipun secara fisik tinggal bersama keluarga.
 Dan luka seperti ini bukan hal sepele.
 Ia tumbuh perlahan, membentuk dinding, dan membuat seseorang sulit percaya atau terbuka pada siapa pun.
Aku pernah merasa seperti itu.
 Dan mungkin kamu juga.
Kalau hari ini kamu merasa asing di tempat yang seharusnya jadi rumahmu,
 kamu gak sendiri.
 Dan kamu gak salah.
Kamu berhak merasa sedih.
 Kamu berhak mempertanyakan.
 Dan kamu juga berhak untuk membentuk definisi "rumah" yang baru entah itu lewat sahabat, komunitas, atau bahkan lewat relasi yang kamu bangun dengan Tuhan.
Penutup: