Mohon tunggu...
Adetio Gilang Pamungkas
Adetio Gilang Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiwa

Saya adalah mahasiswa diploma yang memiliki hobi berkendara dan menulis apa yang menurut Saya menarik

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

GEN Z dan Pemasaran Internet dari Kredibilitas Influencer

29 September 2025   13:00 Diperbarui: 29 September 2025   12:47 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Pendahuluan
 
Perkembangan teknologi digital saat ini telah mengubah kebiasaan masyarakat berinteraksi, bertransaksi, dan berkomunikasi. Selama satu dekade terakhir, internet telah berevolusi dari sekadar sumber informasi menjadi ekosistem yang kompleks, di mana relasi sosial, aktivitas bisnis, dan pembentukan jati diri saling terintegrasi. Transformasi ini, didorong oleh adopsi teknologi yang masif, telah membentuk Generasi Z (Gen Z), sebuah kelompok yang secara alami terhubung dengan dunia maya. Tumbuh besar dengan media sosial, layanan streaming, dan perangkat cerdas, Gen Z tidak hanya berfungsi sebagai konsumen pasif, melainkan juga sebagai partisipan aktif yang menuntut pengalaman yang otentik, personal, dan bermakna dari setiap merek. Realitas ini secara signifikan menantang model pemasaran tradisional yang cenderung satu arah dan impersonal. Oleh karena itu, bagi merek yang ingin tetap relevan, penguasaan pemasaran berbasis internet bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan mutlak. Esai ini akan mengupas tuntas alasan di balik vitalnya strategi pemasaran digital untuk menjangkau Gen Z, dengan berfokus pada tiga pilar utama: peran konten kreatif yang beresonansi, pemanfaatan personalisasi data, dan kekuatan kredibilitas yang dibangun melalui kemitraan dengan influencer.
Konten sebagai Inti Komunikasi Pemasaran
Di era digital, konten telah menjadi 'raja', dan bagi Gen Z, kreasi visual yang menarik adalah kunci untuk menarik perhatian. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih terbiasa dengan format teks yang panjang, Gen Z cenderung menyerap informasi melalui konten yang ringkas, visual, dan kaya emosi. Tren ini sangat jelas terlihat dari dominasi platform seperti TikTok dan Reels di Instagram, di mana video pendek menjadi alat utama untuk menyampaikan pesan. Sebuah penelitian oleh Chen et al. (2022) mengonfirmasi bahwa video berdurasi di bawah satu menit menunjukkan tingkat keterlibatan (engagement) yang jauh lebih tinggi di kalangan audiens muda dibandingkan iklan video konvensional. Keefektifan video pendek ini berasal dari kemudahannya untuk dibagikan, kemampuannya mengikuti tren viral, dan kesempatan yang diberikan kepada merek untuk menunjukkan sisi yang lebih otentik. Selain itu, format visual seperti infografis dan karusel di Instagram juga terbukti efektif dalam menyajikan informasi kompleks menjadi bagian-bagian yang mudah dicerna, mendorong audiens untuk berinteraksi dengan menggeser layar dan membaca setiap bagian.
Di luar format, inti dari konten yang sukses adalah otentisitas dan resonansi yang kuat. Gen Z memiliki kepekaan tinggi untuk membedakan antara konten yang jujur dan yang dibuat-buat. Mereka menuntut merek untuk tidak hanya menjual produk, tetapi juga membagikan cerita yang otentik dan sejalan dengan nilai-nilai yang mereka pegang. Pemasar kini menggunakan teknik storytelling yang lebih canggih, seperti menampilkan proses di balik layar (behind the scenes), berkolaborasi dengan komunitas, atau menyoroti inisiatif sosial yang dijalankan merek. Pendekatan ini mampu membangun ikatan emosional yang jauh lebih mendalam daripada sekadar janji-janji produk. Sebagai contoh, sebuah merek pakaian yang mengedepankan praktik berkelanjutan atau merek kosmetik yang mengampanyekan body positivity akan lebih mungkin mendapatkan loyalitas dari Gen Z. Oleh karena itu, konten yang dibuat dengan kesadaran ini tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat promosi, tetapi menjadi bagian integral dari identitas merek, yang secara langsung memengaruhi persepsi konsumen.
Personalisasi Pemasaran Berbasis Data
Salah satu keunggulan terbesar pemasaran online adalah kemampuannya untuk melakukan personalisasi secara luas. Algoritma media sosial dan mesin pencari menjadi pilar utama di balik fenomena ini, yang secara konstan mengumpulkan data dari setiap interaksi pengguna—mulai dari riwayat pencarian, video yang ditonton, akun yang diikuti, hingga iklan yang diklik. Data ini kemudian dianalisis untuk membuat profil pengguna yang sangat terperinci, memungkinkan pemasar untuk menargetkan iklan secara spesifik kepada individu yang paling berpotensi tertarik. Sebuah laporan dari Gartner (2024) menyoroti bahwa personalisasi yang cerdas dapat meningkatkan tingkat konversi hingga 20% dan secara signifikan menurunkan biaya akuisisi pelanggan. Bagi Gen Z, personalisasi bukan hanya tentang menerima iklan yang relevan, tetapi juga tentang pengalaman yang membuat mereka merasa "dikenali" dan "dipahami" oleh merek. Ketika sebuah iklan menampilkan produk yang sesuai dengan selera mereka, hal itu menciptakan kesan bahwa merek tersebut benar-benar peduli.
Meskipun demikian, personalisasi juga memunculkan tantangan etis terkait privasi data. Gen Z, meskipun terbuka untuk berbagi informasi demi kenyamanan, juga sangat peduli terhadap isu privasi. Mereka menuntut transparansi dari merek mengenai bagaimana data mereka digunakan. Oleh karena itu, pemasar harus menemukan keseimbangan antara personalisasi yang efektif dan penghormatan terhadap privasi pengguna. Pendekatan yang etis mencakup pemberian opsi kepada pengguna untuk mengontrol data mereka dan penjelasan yang jujur mengenai manfaat personalisasi. Selain itu, seiring dengan kemajuan teknologi, data pihak pertama (first-party data, yang dikumpulkan langsung oleh merek dari konsumennya) menjadi semakin penting, menggantikan ketergantungan pada data pihak ketiga. Langkah ini memungkinkan merek untuk membangun hubungan yang lebih langsung dan transparan dengan konsumen, memperkuat kepercayaan yang menjadi fondasi loyalitas jangka panjang.
Kredibilitas Melalui Kemitraan dengan Influencer
Di mata Gen Z, rekomendasi dari figur yang mereka percayai memiliki pengaruh yang jauh lebih besar daripada iklan konvensional. Fenomena ini melahirkan influencer marketing, sebuah strategi yang memanfaatkan individu dengan basis pengikut yang kuat dan loyal di media sosial. Kredibilitas influencer berasal dari persepsi otentisitas dan kedekatan; mereka sering dianggap sebagai teman, bukan sekadar juru bicara merek. Berbeda dengan selebritas yang sering terasa jauh dari kehidupan sehari-hari, influencer cenderung menampilkan sisi yang lebih jujur dan relatable. Sebuah studi dari Nielsen (2023) menunjukkan bahwa 85% Gen Z lebih mungkin membeli produk yang direkomendasikan oleh influencer yang mereka ikuti, dibandingkan dengan iklan spanduk atau iklan televisi. Pengaruh besar ini telah menjadikan kemitraan dengan influencer sebagai salah satu strategi pemasaran yang paling efektif saat ini.
Strategi influencer marketing juga telah berkembang pesat. Awalnya, merek berfokus pada macro-influencer yang memiliki jutaan pengikut. Namun, kini perhatian telah beralih ke micro-influencer atau bahkan nano-influencer, individu dengan pengikut yang lebih sedikit tetapi sangat spesifik dan terlibat. Kemitraan dengan micro-influencer sering kali menghasilkan tingkat keterlibatan yang lebih tinggi karena komunitas mereka lebih solid dan terpercaya. Selain itu, mereka menawarkan spesialisasi dalam ceruk pasar tertentu, memungkinkan merek untuk menargetkan audiens yang sangat spesifik. Namun, seiring dengan pertumbuhan industri ini, tantangan juga muncul. Isu seputar otentisitas dan transparansi, seperti influencer yang tidak jujur, telah membuat Gen Z menjadi konsumen yang semakin kritis. Mereka kini menuntut transparansi penuh, termasuk penandaan yang jelas untuk konten berbayar, dan dengan cepat akan meninggalkan influencer atau merek yang dianggap tidak etis.
 
Inovasi dan Tren Pemasaran Masa Depan
Lanskap pemasaran digital terus berubah, dan beberapa tren inovatif menunjukkan arah pergerakan pemasaran untuk Gen Z di masa depan. Salah satu yang paling menonjol adalah pemanfaatan Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) untuk menciptakan pengalaman interaktif. Laporan oleh eMarketer (2025) memprediksi bahwa penggunaan teknologi AR dalam kampanye pemasaran akan meningkat secara signifikan. Contoh paling populer adalah filter AR di Instagram yang memungkinkan pengguna untuk "mencoba" produk seperti riasan atau kacamata secara virtual sebelum membeli. Pengalaman ini tidak hanya menyenangkan, tetapi juga fungsional, meminimalkan keraguan dalam pembelian dan meningkatkan interaksi. Selain itu, konsep Metaverse juga mulai menarik perhatian. Meskipun masih dalam tahap awal, beberapa merek telah bereksperimen dengan toko virtual atau acara khusus di platform seperti Roblox dan Decentraland untuk menjangkau audiens Gen Z yang sudah akrab dengan dunia virtual ini.
Tren penting lainnya adalah integrasi antara media sosial dan e-commerce, yang dikenal sebagai social commerce. Platform seperti TikTok Shop, Instagram Shopping, dan fitur live shopping telah menyederhanakan seluruh proses pembelian, mulai dari penemuan produk hingga pembayaran, yang kini dapat dilakukan tanpa harus meninggalkan aplikasi. Fitur ini menghilangkan hambatan dalam model e-commerce tradisional dan menciptakan pengalaman belanja yang mulus dan instan—sesuai dengan preferensi Gen Z. Integrasi ini mengubah media sosial dari sekadar saluran pemasaran menjadi platform penjualan yang lengkap, menjadikannya alat yang tak terpisahkan dari strategi bisnis modern.
Penutup
Pemasaran berbasis internet bukan hanya sekadar adaptasi terhadap teknologi baru, tetapi merupakan perubahan mendasar dalam cara merek berinteraksi dengan konsumen, terutama Gen Z. Esai ini telah menunjukkan bagaimana pemasaran yang efektif harus berpusat pada konten visual yang kreatif dan otentik, menggunakan personalisasi data untuk menciptakan pengalaman yang relevan, dan membangun kredibilitas melalui kemitraan dengan influencer yang dipercaya. Tren masa depan seperti AR, VR, dan social commerce semakin mengintegrasikan pengalaman digital dengan realitas fisik, menghapus batasan antara pemasaran, hiburan, dan belanja. Bagi pemasar, memahami dan menguasai pilar-pilar ini sangat penting untuk membangun hubungan yang langgeng dengan generasi yang tidak hanya membeli produk, tetapi juga mengadopsi nilai-nilai yang diwakili oleh merek. Pada akhirnya, sukses di era pemasaran digital akan sangat bergantung pada kemampuan merek untuk menjadi relevan, transparan, dan berempati terhadap audiens mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun