Mohon tunggu...
Timotius Rainaldo
Timotius Rainaldo Mohon Tunggu... Siswa Kolese Kanisius

suka batminton

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Krisis Yang Menyelimuti Bangsa

25 September 2025   07:56 Diperbarui: 25 September 2025   08:00 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan yang dihadapi bangsa ini tidak lagi sederhana. Bukan hanya soal kerusakan lingkungan, bukan pula sekadar konflik hukum, melainkan juga kerusakan moral yang makin nyata. Hal ini tergambar jelas dalam tiga tulisan: Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu karya F. Rahardi, editorial Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal dari Tempo, dan kolom Budiman Tanuredjo Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati. Ketiganya berbicara dari sudut yang berbeda, tetapi menyatu dalam pesan yang sama: bangsa ini sedang dilanda krisis kepercayaan, hukum, dan keteladanan.

Pernahkah kita merasa bangsa ini berjalan di tempat, seakan-akan masalah yang sama terus berulang? Artikel-artikel ini bisa menjadi cermin untuk kita semua.

Rahardi dengan cara yang sederhana namun tajam menunjukkan bahwa fobia masyarakat pada ulat bulu hanyalah cermin dari ketakutan yang lebih besar. Ia menulis bahwa ulat bulu bukanlah ancaman, melainkan bagian dari siklus alam. Namun, masyarakat justru panik dan menjadikannya sebagai momok. Fenomena ini, menurutnya, sama seperti para pemimpin negeri yang diliputi ketakutan. Mereka takut dimakzulkan, takut kehilangan jabatan, dan takut tersingkir dari lingkaran kekuasaan. 

Bukankah kita sering melihat hal serupa, misalnya saat masyarakat panik karena isu kesehatan atau hoaks di media sosial? Fobia kolektif seperti ini lahir karena minimnya edukasi dan lemahnya kepercayaan pada pemimpin.


Gaya Rahardi terasa khas karena ia menyajikan kritik sosial melalui pengalaman pribadi. Dari kisahnya melihat kupu-kupu beterbangan di Purwakarta, ia membawa pembaca pada pemahaman bahwa ulat bulu hanyalah bagian dari alam yang tak berbahaya. Dari sini ia menegaskan pesan yang lebih luas: ketakutan berlebihan yang tumbuh tanpa dasar hanya akan merugikan, apalagi jika terjadi secara massal. Masyarakat yang hidup dalam fobia hanyalah masyarakat yang kehilangan arah dan rasa percaya pada pemimpinnya.

Dari artikel ini dapat diambil pelajaran bahwa ketakutan berlebih hanya akan melahirkan ketakutan baru. Fobia yang tumbuh dalam masyarakat sejatinya adalah refleksi dari hilangnya rasa percaya kepada pemimpin. Seperti diungkap Rahardi, fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita, apalagi jika terjadi secara massal dan berkepanjangan. Pandangan ini membuat kita sadar bahwa ketakutan kolektif dapat berubah menjadi masalah sosial yang lebih besar.

Sementara itu, editorial Tempo menyoroti masalah hukum yang tak kalah serius. Kasus pagar laut ilegal di pesisir Banten menjadi bukti bahwa pemerintah gagal bersikap tegas. Pemasangan pagar sepanjang 30 kilometer jelas melibatkan banyak orang, namun hingga kini penegakan hukumnya berjalan lambat dan penuh ketidakjelasan. Editorial tersebut menegaskan, penyidikan semestinya tidak perlu berbelit. Dengan bukti yang ada, aparat seharusnya bisa dengan mudah menemukan dalang proyek ilegal itu.

Tempo tidak hanya mengkritik, tetapi juga memberi arahan: Presiden harus memastikan kasus ini diselesaikan tuntas. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat hukum akan semakin runtuh. Bahkan lebih jauh, buruknya penanganan kasus ini berpotensi menimbulkan konflik sosial. Artinya, pagar laut bukan sekadar urusan pemagaran, melainkan simbol lemahnya penegakan hukum yang mencerminkan wajah negara.

Dari sini kita melihat betapa hukum kerap dipentaskan seperti sandiwara. Masalah yang seharusnya jelas justru diputarbalikkan, hingga publik merasa dipermainkan. Editorial Tempo memberi pesan tegas: pemerintah tak boleh berlama-lama membiarkan masalah ini. Ketegasan dalam hukum adalah syarat utama agar kepercayaan masyarakat kembali pulih.

Budiman Tanuredjo kemudian melengkapi gambaran krisis bangsa dengan sorotan pada hilangnya teladan. Ia menulis bahwa sumpah jabatan yang diucapkan para wakil rakyat kini tak lebih dari teks mati. Reformasi 1998 yang seharusnya membawa perubahan besar, kini seolah tinggal mimpi. Enam tuntutan reformasi, mulai dari pemberantasan KKN hingga penegakan hukum, masih terasa jauh dari kenyataan.

Sebagai pembaca, saya pun bertanya: masih adakah tokoh yang benar-benar bisa kita jadikan panutan hari ini? Pertanyaan ini mungkin juga muncul di benak banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun