Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Paradoks New Normal dan Abnormalitas Global

3 Juni 2020   23:27 Diperbarui: 2 Juli 2020   06:05 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi protokol kerja ketika masa kenormalan baru. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Ada dikotomi dua mainstream pendapat tentang new normal. Terlepas dari kedua hal tersebut realita kenormalan baru merupakan paradoks global yang sulit dihindari. 

Kejadian-kejadian, atau situasi abnormal akibat pandemi covid-19 merupakan premis munculnya terminologi New Normal, namun tidak sekaligus bisa menjelaskan definisinya dan membuktikan maksud dari terminologi itu sendiri. Kedua kelompok besar pendapat tentang New Normal banyak terjebak pada definisi yang absurd.

Disrupsi akibat pandemi covid-19 ini begitu hebatnya, antara lain minyak mentah yang jatuh diharga terendah sepanjang sejarah pada US$ -30, ditutupnya akses masuk dan keluar di beberapa negara, runtuhnya permintaan dan penawaran global.

Meningkatnya angka pengangguran global secara signifikan, serta berubahnya banyak tatanan sosial dengan protokol jaga jarak fisik (physical distancing). Perubahan itu tiba-tiba terjadi begitu saja dan menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. 

Banyak frasa baru dalam berbagai bahasa muncul seperti covidiot untuk orang yang mengabaikan protokol kesehatan covid, dan covidhero untuk mereka yang berjasa dalam perang semesta melawan covid. Kita sering mendengar, membaca, dan mengucapkan satu terminologi yang paling populer saat ini, yaitu New Normal atau kenormalan baru.

Istilah "New Normal" sebenarnya bukan kosakata baru, setidaknya telah mulai digunakan saat Mohamed A. El-Erian (2010) menyampaikan makalah Jacobsson "Navigating the New Normal in Industrial Countries". 

Banyak pendapat ramai memperbincangkan New Normal, definisi, konsep dan ide dibalik terminologi itu. Ironisnya sebagian besar dari kita bahkan tidak memahami konsep kenormalan baru. Mayoritas tidak memahami, namun mereka harus berhadapan dengan realita perubahan ditengah pusaran pendapat New Normal.

Dua pendapat besar bertolak belakang tentang New Normal, yaitu mereka yang percaya bahwa New Normal adalah gambaran situasi kenormalan baru yang sekaligus didalamnya ada kebijakan dan tatanan baru dibanyak hal dalam kehidupan kita. 

Ilustrasi kenormalan baru. (sumber: thought.com)
Ilustrasi kenormalan baru. (sumber: thought.com)
Perubahan tatanan baru itu termasuk perubahan tatanan ekonomi, kesehatan masyarakat, pendidikan, bisnis, keamanan serta pemerintahan. Mainstream pendapat yang lain adalah mereka yang percaya bahwa New Normal merupakan gambaran situasi kembali kepada kenormalan (back-to-normal) sesudah carut marut terjadi dalam situasi abnormal.

Diantara dua arus turbulen itu, kita bisa melihat realita dan fenomena yang ada sebagai satu paradoks global situasi kehidupan yang terus berjalan dinamis.

Situasi saat ini adalah realita kontradiktif yang bertentangan dengan logika dan kesadaran umum (common sense) dalam satu kemapanan logika dunia. Pandemi Covid-19 ini telah mendekonstruksi kemapanan dunia dan membuat kita berpikir ulang tentang kemapanan baru yang kita sebut situasi New Normal.

Sesaat kita hidup dengan banyak hal dalam situasi abnormal yang bertentangan dengan kebiasaan lama. Disrupsi akibat runtuhnya konstruksi kemapanan dunia tersebut justru membuat kita melihat lebih jelas hal-hal kontradiktif yang bertentangan dengan persepsi dan logika kolektif selama ini. Hal demikian ini adalah paradoks global yang terlihat lebih nyata dari sebelumnya.

Paradoks Global
Paradoks global dalam tatanan ekonomi dunia menjadi semakin nampak nyata pada masa dan pasca pandemi. Prediksi John Naisbitt (1994) bahwa bisnis besar dan pemerintah tidak akan mampu memenuhi tantangan ekonomi abad keduapuluh satu, terbukti nyata. 

Dalam buku-buku Megatrends, Naisbitt menjelaskan bagaimana revolusi telekomunikasi memberdayakan perusahaan kecil dan multinasional. Hal demikian menjadi realita sekaligus fenomena yang kita hadapi semua. 

Disruptive innovation dibidang teknologi informasi dengan munculnya platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, Google, dan WhatsApp telah memicu paradoks global jejaring sosial. 

Kritik social networking yang difasilitasi platform digital itu telah justru membuat jejaring sosial tidak bekerja sebagaimana mestinya sebelumnya. Social Networking melalui revolusi platform digital telah menciptakan realita relasi personal menjadi sesuatu yang "socially not working". 

Protokol "social distancing" yang berlaku saat pandemi ini seolah menjadi justifikasi runtuhnya kritik sosial atas platform komunikasi digital yang memicu individualisme. 

Hal itu sekaligus merupakan antitesa paradoks global dibidang teknologi komunikasi digital. Dunia dengan cepat merasakan efek zoombombing, yang secara drastis meruntuhkan industri konvensi dan meeting tatap muka langsung menjadi zoominar, webinar, dan sebagainya. 

Bangunan megah sekolah dan kampus universitas banyak yang sepi dan digantikan ruang kecil di rumah untuk kegiatan pengajaran dan pembelajaran jarak jauh. Industri property yang melayani korporasi besar dengan ruang perkantoran di gedung pencakar langit atau skyscraper menjadi lebih sepi dan diganti kemunculan banyak co-working space yang dilengkapi cafe dan fasilitas modern. 

Saat angka pengangguran meningkat tajam, justru kedepan akan muncul model bisnis baru yang berbasis internet (internet of things) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan jumlah SDM minimal. 

Hotel dengan tanpa resepsionis atau tanpa housekeeping staff akan menjadi trend model hotel masa depan yang tidak akan lama lagi terjadi, sementara itu cara pembayaran yang harus antri di kasir swalayan akan segera berganti dengan teknologi cashless. 

Sektor perbankan akan berhadapan dengan menguatnya ekonomi digital yang sekaligus juga akan memukul industri bank konvensional jika tidak beradaptasi dengan cepat dan tepat.

Salah satu paradoks global yang ditulis Naisbitt adalah bahwa Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil. Kita menyaksikan daya bertahan perusahaan kecil dan UMKM menjadi basis pergerakan ekonomi lokal yang akan menyelamatkan mata pencaharian penduduk secara langsung saat "global supply chain" terganggu dan tidak bisa diandalkan dalam tempo singkat.

Paradoks New Normal adalah paradoks global yang kita hadapi dan ditandai dengan banyak hal kebaikan lama menguat serta hal baru muncul secara bersamaan. 

Hal ini misalnya, dalam pembatasan akses ritual di rumah ibadah justru telah menguatkan dan membebaskan ekspresi keimananan dan keagamaan pada basis individu. Kita juga menjadi lebih mengerti bahwa dalam kematian ada kehidupan, dan dalam kehidupan ada kematian pada konteks serta arti luas. Pengarusutamaan protokol kesehatan menjadi protokol utama dalam kenormalan baru yang dirumuskan oleh badan kesehatan dunia WHO dan diikuti pemerintah, serta swasta utamanya tentang protokol CHS (cleanliness, health, and safety protocol) akan sangat mungkin berkembang dinamis. Agenda pembangunan ekonomi yang biasanya meminggirkan urusan kesehatan dibandingkan investasi saat ini diputar kebalikannya. Ekonomi global akan bertumpu pada ekonomi domestik dan lokal. Pertumbuhan ekonomi sebagai instrumen pembangunan ekonomi akan berhadapan dengan konsep "zero growth economy", globalisasi akan berhadapan dengan tekanan arus deglobalisasi. 

Paradoks New Normal ini seolah menegaskan  pentingnya otentisitas dalam semua aspek kehidupan. Spirit dan nilai dasar kehidupan manusia sebagai hal yang otentik dalam kebudayaan serta tradisi merupakan identitas dan seharusnya dilestarikan selaras dengan kenormalan baru. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun