# Akhirnya ... 'Revolusi'!
Kesulitan hidup selalu butuh kanal katarsis. Jika itu pun kauhambat, meledaklah orang-orang.
Itulah yang terjadi dengan Revolusi Mahasiswa di Paris dan Nantes, Prancis 1968. Kemarahan para mahasiswa oleh larangan bertamu ke asrama mahasiswa bertemu kemarahan masyarakat umum yang masih tersisa oleh perang Vietnam --marahnya ke Amerika dan kapitalisme dunia--. Kemarahan itu sampai bisa bikin Sang diktator Charles de Gaulle lari terbirit-birit ke luar negeri.
Demikian pula dengan para perempuan  Noiva do Cordeiro. Mereka ingin sejenak saja melupakan berbagai tekanan dan kesulitan hidup denga menari dan bernyanyi. Maka pada sebuah acara pernikahan, pecahlah pertengkaran dengan pihak gereja. Para perempuan tidak mau lagi dikungkung aturan-aturan tak masuk akal. Mereka memutuskan untuk menari, menyanyi, sekalipun ditakut-takuti ancaman masuk nereka.
Untuk apa masuk surga jika di sana tak boleh menari dan menyanyi? Bukankan tanpa musik dan tarian, segala neraka belaka?
Pascapertengkaran itupara perempuan Noiva do Cordeiro merenungkan dan mendiskusikan peran agama bagi hidup mereka. Kesimpulannya: agama tidak lebih dari wujud otoritas patriarki lainnya.
Maka sejak itu mereka meruntuhkan bangunan gereja. Di atas reruntuhan itu mereka mendirikan bar, tempat warga Nova de Cordeiro menikmati surga di muka bumi: bernyanyi, menari, bahkan minur bir, saling peduli.
Bukankah kegembiraan adalah wujud kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita?
Maka pada 1990, agama resmi terusir dari Noiva do Cordeiro. Sebagai gantinya, masyarakat hidup dengan prinsip cinta kasih kepada sesama. Terpujilah!
#Nilai, Prinsip, dan Praktik Hidup