Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ambang Batas Parlemen 7 Persen, Taktik Oligarki Menjaga Soliditas

12 Maret 2020   08:59 Diperbarui: 12 Maret 2020   10:34 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oligarki [dellfranklin.com]

Karena itu lebih mudah bagi saya menjelaskan dugaan ini dengan meminjam praktik mula-mula oligarki di negara-negara kota di Yunani. Kebetulan ada buku baru yang ditulis Mathew Simonton (Classical Greek Oligarchy, 2017).

Simonton membuka bab 2 dengan sangat baik,

"The members of the ancient Greek elite were extraordinarily competitive, and their cooperation could not be taken for granted---it had to be achieved. This problem went back to the Archaic period, when elite Greeks found it necessary to develop institutions to prevent the rise of tyranny, but it took on a new life in the age of democracy, when the demos represented a novel threat to the oligarchic status quo." (hal 75).

Bukan kebetulan saya kira, kondisi di Yunani Kuno yang diceritakan Simonton menyerupai Indonesia masa kini. Beragam studi tentang oligarki di Indonesia, seperti yang dilakukan Richard Robison dan Vedi  Hadiz, Jerryf Winters, Boni Hargens, dan banyak lainnya, selalu menunjuk pada kejatuhan Soeharto sebagai salah satu pilar kebangkitan oligarki.

Kehilangan sosok sentral, Soeharto, memberi kesempatan kaum oligark untuk mengoptimalkan peluang mereka manipulasi negara demi kepentingan pribadi-pribadi. Mereka yang sebelumnya tunduk gemetar pada satu sosok tirani kini bersama-sama memerintah di balik bayang-bayang. Mereka harus membuat aturan main yang mencegah salah seorang di antara mereka berubah menjadi tirani yang mengatasi yang lainnya. Tetapi pada yang sama, para oligark saksama pasang mata terhadap riak-riak di tengah rakyat. Bagi mereka, kekuatan rakyat, demos yang baru bangkit itu, sama menakutkannya dengan tirani yang baru saja tumbang.

Simonton menceritakan, oleh ketakutan terhadap Tirani di satu sisi dan rakyat di sisi lain; juga demi tiap-tiap oligark menghormati kesepakatan antara mereka, tidak saling sikut di tengah persaingan, mereka harus menjaga soliditas internal sembari memecah belah rakyat ke dalam faksi-faksi patron-client.

Terbang kembali ke Indonesia masa kini, parliementary threshold adalah mekanisme menjaga soliditas di antara para oligark. Partai-partai yang menjadi alat kepentingan mereka di parlemen, lembaga yang memberikan legitimasi demokrasi prosedural terhadap keputusan-keputusan pihak eksekutif yang mereka kooptasi, tidak boleh terlampau banyak agar bisa dikontrol. Ruang bagi partai-partai kecil yang sering kali mewakili sentimen politik radikal (entah kanan maupun kiri) harus dipersempit.

Tetapi citra (ilusi) demokratis harus tetap dijaga. Tidak boleh ada partai tunggal. Partai-partai harus dipertahankan dalam jumlah tertentu agar bisa memecah rakyat ke dalam kelompok-kelompok. Maka biarlah partai-partai sentris, partai-partai 'tanpa ideologi' saja yang ada di parlemen.

Sudah konsekuensi, oleh hegemoni dan koersi, partai-partai bertendensi politik radikal hanya berukuran kecil---tetapi jika dibiarkan, momentum krisis ekonomi bisa menggelembungkan partai-partai ini-- dan karenanya menaikkan parliamentary threshold adalah pilihan paling masuk akal untuk mencegah demokrasi menjadi jalan bagi rakyat meruntuhkan dominasi oligark.

Willy Aditya, mantan ketua umum salah satu organisasi mahasiwa demokratik, progresif, dan revolusioner, tetapi yang kini telah berubah menjadi petinggi Nasdem, sebagai pemikir dan pembela gagasan-gagasan oligarkis, mengarang-ngarang pembenaran parliamentary threshold.

Ia beralasan, ambang batas parlemen 7 persen diusulkan partainya agar demokrasi kian dewasa. Katanya, penerapan ambang batas itu tidak akan menggerus suara rakyat sebab sesuai prinsip kerelaan untuk dipimpin dan memimpin. (1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun