Mohon tunggu...
Suci fadillah putri
Suci fadillah putri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa UIN ARRANIRY mahasiswa S1 bimbingan konsling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar demi nilai atau nilai -nilai?Menggugat pendidikan dari kacamata filsafat nilai

29 Mei 2025   10:40 Diperbarui: 29 Mei 2025   10:39 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

am banyak sekolah modern, ada keprihatinan umum yang terlihat jelas: siswa
belajar hanya untuk angka di rapor daripada untuk memahami pelajaran itu sendiri. Dalam
sistem pendidikan, peringkat, ujian, dan nilai akademik sangat penting, seolah-olah
keberhasilan akademik seseorang ditentukan sepenuhnya oleh angka-angka yang ada di atas
kertas. Pada kenyataannya, nilai tidak lagi dianggap sebagai prinsip moral, kebenaran, atau
keindahan, tetapi sekadar simbol numerik yang seringkali menjadi momok bagi
orang tua dan siswa.
Pendidikan seharusnya menjadi proses humanisasi yang menghasilkan manusia yang
kuat secara intelektual, emosional, dan spiritual. Namun, itu hanya menjadi sistem pengukuran
kognitif tanpa rasa dan makna. Apakah semangat pendidikan kita hilang? Apakah tujuan
pendidikan hanyalah "lulus", "naik kelas", atau "diterima di perguruan tinggi bergengsi"?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk diajukan, terutama di tengah arus globalisasi
dan kapitalisme pendidikan yang menekan sekolah dan lembaga pendidikan untuk
menghasilkan lulusan yang "kompetitif" secara teknis tetapi seringkali tidak memenuhi standar
sosial, moral, dan estetika.
Untuk menentukan jalan dan arti pendidikan kontemporer, filsafat pendidikan---
khususnya melalui pendekatan aksiologi---harus hadir dalam konteks ini. Dengan
merenungkan nilai-nilai yang sebenarnya dan menekankan pentingnya etika dan estetika, kita
diajak untuk mempertimbangkan kembali: apa yang kita pelajari? Karena nilai yang hanya
sekedar angka? Atau demi nilai-nilai---yang membentuk karakter dan martabat manusia?.
Tulisan ini tidak sekadar mengkritik pendidikan, tetapi juga mengajak pembaca
berpikir: sudahkah pendidikan kita memanusiakan kita? Sudahkah pendidikan kita
menanamkan kebajikan dan keindahan dalam hidup orang? Atau mungkin kita terjebak dalam
pendidikan yang mengabaikan arti sebenarnya?
Hakikat Nilai dalam Filsafat Pendidikan
Nilai dalam filsafat pendidikan bukan hanya angka pada rapor atau skor ujian. Dalam
filosofi, nilai mencakup segala sesuatu yang dianggap baik, penting, dan penting bagi
kehidupan manusia. Nilai-nilai ini mencakup nilai moral, spiritual, sosial, dan kultural. Oleh
karena itu, berbicara tentang nilai dalam pendidikan berarti berbicara tentang tujuan utama
pendidikan itu sendiri: apakah pendidikan bertujuan untuk menghasilkan siswa yang unggul
secara numerik atau yang memiliki karakter yang kuat?
John Dewey, salah satu tokoh penting dalam filsafat pendidikan progresif, berpendapat
bahwa pendidikan itu sendiri adalah kehidupan, bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan
harus menanamkan prinsip-prinsip seperti kebersamaan, tanggung jawab, kejujuran, dan
refleksi diri yang dapat ditemukan di dunia nyata. Dewey menentang pendekatan pendidikan
yang hanya menekankan hafalan dan penguasaan materi tanpa memahami artinya.
Immanuel Kant, seperti Dewey, mengatakan bahwa manusia bukan sekadar alat untuk
mencapai tujuan melaikan manusia adalah tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan
seharusnya mendidik orang menjadi individu yang bermoral, bukan sekadar menjadi orang
yang mahir secara teknis. Dalam situasi seperti ini, pendidikan yang hanya berfokus pada hasil
ujian tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan akan bertentangan
dengan martabat manusia.
Sayangnya, sistem evaluasi saat ini masih berfokus pada output kuantitatif seperti nilai
rapor atau skor ujian nasional. Ini mengubah artinya: siswa belajar untuk memperoleh nilai-
nilai tinggi daripada memahami, mengalami, dan menumbuhkan nilai-nilai penting dalam
kehidupan. Ini kemudian disebut oleh banyak ahli pendidikan sebagai "instrumentalisasi
pendidikan". Dengan kata lain, pendidikan yang menjadikan manusia sebagai alat untuk
kepentingan ekonomi dan pasar daripada manusia yang bernilai.
Selain itu, filsafat nilai atau axiologi, membagi nilai ke dalam tiga kategori utama: nilai
logika (yang berarti kebenaran), nilai etika (yang berarti kebaikan), dan nilai estetika (yang
berarti keindahan). Ketiganya tidak dapat terlepas dari pendidikan. Jika pendidikan hanya
menekankan kebenaran logis (dalam bidang matematika dan sains) tetapi mengabaikan nilai
kebaikan (etika) dan keindahan (estetika), orang akan cerdas tetapi kehilangan arah dalam
bertindak dan merasakan kehidupan.
Etika dalam Proses Pendidikan
Etika pendidikan tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara pendidik dan siswa. Guru
bukan hanya orang yang memberikan informasi, tetapi mereka juga figur moral yang
menunjukkan contoh dalam perkataan dan tindakan mereka. Dalam kerangka etika normatif,
seorang guru bertanggung jawab untuk mengajar dengan niat baik (good will) dan bertindak
demi kebaikan murid daripada hanya menyelesaikan pelajaran. Ini sejalan dengan pendapat
Kant bahwa tindakan moral didorong oleh rasa kewajiban dan prinsip daripada hanya untuk
mencapai hasil atau konsekuensi tertentu. Siswa juga seharusnya belajar bukan hanya untuk
mendapatkan hasil, tetapi juga dengan cara yang etis. Mereka harus jujur saat ujian, menghargai
pendapat teman, dan berpartisipasi(aktif) secara sadar, bukan karena keterpaksaan. Proses
pembelajaran yang etis akan menumbuhkan kepercayaan antara pendidik dan siswa, yang
merupakan dasar pendidikan yang memanusiakan.
Kenyataannya, sistem pendidikan modern seringkali lebih terfokus pada penerapan
disiplin formal daripada menanamkan prinsip kebajikan. Aturan digunakan oleh banyak
lembaga pendidikan sebagai tujuan daripada sarana untuk membangun karakter. Hal ini
menyebabkan budaya kepatuhan yang lemah; siswa menyontek bukan karena takut dihukum,
tetapi karena mereka tahu menyontek itu tidak etis. Pendidikan seharusnya membentuk
kebiasaan baik (habit of virtue) melalui latihan moral yang konsisten, menurut filsafat etika,
terutama etika kebajikan Aristoteles. Kebajikan (virtue) tidak diajarkan melalui aturan yang
diucapkan, tapi pembiasaan membangun kebajikan. Akibatnya, pendidikan yang baik
seharusnya mengajarkan alasan moral di balik aturan, bukan sekadar "karena aturan sekolah
menyuruh begitu".
Estetika dalam Pendidikan
Dalam pendidikan, estetika tidak hanya terbatas pada tampilan fisik yang menarik,
seperti meja kelas atau media pembelajaran yang menarik secara visual. Selain itu, estetika
mencakup keindahan dalam segala hal yang kita pikirkan, rasakan, dan pelajari. Estetika
membahas aspek-aspek yang paling dalam dari kehidupan manusia, seperti kepuasan yang
dirasakan saat memahami suatu ide, kekaguman terhadap kebenaran, dan kepuasan intelektual
saat berbicara atau menemukan makna dalam pelajaran.
Menurut filsuf Immanuel Kant, estetika mengacu pada penilaian yang tidak semata-
mata didasarkan pada logika atau moral, tetapi pada rasa yang membebaskan---sebuah harmoni
antara akal dan imajinasi yang menyentuh pengalaman batin manusia. Untuk menjamin bahwa
pendidikan yang bermakna tidak hanya mempertahankan aspek estetika, tetapi juga membuat
proses belajar menjadi pengalaman yang menyenangkan dan memerdekakan rasa.
Suasana belajar yang estetik adalah tempat belajar yang tidak menekan, tetapi
menginspirasi. Keindahannya dalam pendidikan tidak hanya terletak pada apa yang diajarkan,
tetapi juga bagaimana perasaan yang dibentuk selama prosesnya. Ketika guru mengajar dengan
semangat dan ketulusan, dan siswa merasa dihargai dan terlibat, itulah keajaiban pendidikan
yang sebenarnya. John Dewey berpendapat bahwa estetika pendidikan tidak bergantung pada
pengulangan informasi atau hafalan, tetapi pada pengalaman langsung yang menyentuh
perasaan. Oleh karena itu, pembelajaran yang melibatkan imajinasi, empati, dan refleksi
sangat penting untuk prestasi akademik serta untuk membangun hubungan emosional antara
siswa dan pengetahuan yang mereka pelajari.
Kenyataannya pembelajaran masih bersifat mekanis di banyak ruang kelas modern.
Guru memberikan penjelasan, siswa mencatat, dan kemudian diuji dengan soal standar. Pola
ini menghilangkan aspek estetika dari pendidikan, menghilangkan ruang ekspresi dan
keindahan interaksi yang hanya meninggalkan tekanan. Sebaliknya, pembelajaran yang
inovatif dan mendalam, seperti diskusi reflektif, proyek kolaboratif, karya seni, atau cerita
inspiratif, dapat mempengaruhi aspek emosional siswa.
Proses belajar menjadi lebih dalam dan bermakna ketika seorang guru menjelaskan nilai
kehidupan melalui puisi atau ketika siswa membuat karya yang merefleksikan apa yang mereka
pahami. Dalam situasi seperti ini, estetika berfungsi sebagai jembatan antara ilmu dan
kehidupan, menjadikan pendidikan sebagai proses yang lebih dari sekadar memberikan
pengetahuan; itu adalah perjalanan menyelami makna dan keindahan dalam hidup manusia.
Penutup: Refleksi dan Gagasan Alternatif
Redefinisi tujuan pendidikan diperlukan karena tantangan yang dihadapi dunia
pendidikan saat ini. Pendidikan harus lebih dari sekadar formalitas administratif, alat produksi
tenaga kerja, atau kompetisi. Pendidikan harus kembali ke tujuan utamanya, yaitu
menghasilkan individu yang bermoral, cerdas, dan sensitif terhadap estetika. Pendidikan yang
bermakna, menurut filsuf Paulo Freire, adalah pendidikan yang membebaskan manusia dari
penindasan, termasuk penindasan sistemik yang hanya membuatnya menjadi objek
pemeriksaan dan penilaian.
Dalam situasi seperti ini, belajar harus dilihat bukan hanya sebagai proses kognitif,
tapi harus dilihat sebagai pengalaman hidup yang melibatkan semua aspek kemanusiaan
yaitu pikiran, hati, dan rasa. Pendidikan yang didasarkan pada filsafat nilai akan menempatkan
estetika dan etika sebagai dasar sikap hidup. Tujuan akhirnya bukan hanya menghasilkan siswa
yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar, tetapi juga siswa yang bijak dalam membuat
keputusan dan menghargai orang lain. Ini sejalan dengan perspektif Kaelan, yang berpendapat
bahwa pendidikan harus mengacu pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik manusia dan
diarahkan pada pembentukan kepribadian yang harmonis.
Oleh karena itu, paradigma pendidikan harus diubah dari "belajar demi nilai" menjadi
"belajar demi nilai-nilai". Pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai seperti empati, rasa ingin
tahu, kejujuran, dan cinta terhadap kebenaran, bukan hanya angka. Selain itu, sistem evaluasi
harus dievaluasi secara menyeluruh untuk memastikan bahwa mereka tidak menghambat
kreativitas dan nilai moral peserta didik. Sebab, ketika nilai-nilai ini ditanamkan di dalam
pendidikan, negara ini akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik,
tetapi juga bijak, manusiawi, dan bermartabat.
Daftar Pustaka
Buku :
Aristoteles. Nicomachean Ethics. Diterjemahkan oleh Terence Irwin. Indianapolis:
(Hackett Publishing), 1999.
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2013.
Kaelan. Filsafat Umum. (Yogyakarta: Paradigma), 2002.
Ki Hajar Dewantara. Pendidikan. (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa), 1967.
Jurnal :
Adnan, Gunawan. "Filsafat Pendidikan: Hakikat dan Tujuannya dalam Konteks
Pembentukan Manusia." Jurnal Substantia, vol. 14, no. 1, (2012).
Syamsuddin, Muhammad. "Etika Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Moral." Jurnal
Filsafat, vol. 22, no. 2 (2012).
Muslich, Masnur. "Pendidikan Humanistik dalam Perspektif Estetika." Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 20, no. 3 (2014).
Ismail, Muhammad. "Pendidikan sebagai Upaya Pembentukan Karakter: Tinjauan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun