Mohon tunggu...
Tika Sylvia
Tika Sylvia Mohon Tunggu... -

Head of Marketing foodpanda Indonesia|Marketing Communication|PublicRelation||Digital Enthusiast|Philosophy Univ.Indonesia - www.tikasylviautami.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Absurdisitas Sollipsisme

24 April 2012   08:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:11 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335256985849787656

Absurdisitas Sollipsisme Permasalahan mengenai absurditas akan menghantarkan kita pada sebuah pemahaman berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional. Albert Camus, seorang filsuf asal prancis yang mengemukakan analoginya lewat salah satu tokoh dalam Mitologi Yunani, yakni sisifus mengenai absurditas sebagai pencarian makna yang sia-sia oleh manusia dalam menghadapi dunia yang tidak bisa dipahami. Seperti yang ditulis dalam salah satu esai milik Camus tentang Sisifus yang mendapatkan kutukan selama-lamanya untuk mendorong batu karang ke puncak gunung. Analogi yang diperbandingkan oleh Camus tentang absurditas kehidupan manusia dengan sisifus itu menjadi semacam metafora dalam keadaan dewasa ini. Buruh dan pekerja pabrik mungkin bisa menjadi penggambaran di masa modern saat ini terkait akan problematika absurditas. Mereka melakukan tugas yang selalu sama dan sudah menjadi rutinitas sehari-hari dalam hidupnya. Hal tersebut menjadikan penggambaran tentang buruh dan pekerja pabrik ini menjadi tidak kalah absurdnya dengan keadaan yang dialami oleh sisifus. Hingga pada akhirnya ketragisan akan muncu ketika mereka nanti sadar akan nasibnya. Permasalahan mengenai absurditas dalam kehidupan manusia memiliki jawaban yang bisa saja berbeda menurut Camus, tapi hanya akan ada satu pilihan dari 2 alternatif yang tersedia. Jawaban atas absurditas yang pertama, mengenai sikap pesimis/absurd yang dikedepankan. Dalam hal ini kita akan bisa melihat bahwa ada orang tertentu yang pada akhirnya membalas sesuatu yang absurd dengan hal yang absurd lainnya, selain itu misalnya dengan membalas kekacauan dengan kekacauan, dsb. Kedua, adalah menjawab sikap absurd ini dengan sikap yang escapis, dimana timbul sebuah kepengecutan dalam menghadapi kehidupan yang sangat rumit dan absurd. Misalnya mengenai sikap escapis ini akan disinggung bahwa ‘bunuh diri’ menjadi pilihan. Berdasarkan penggambaran atas dua hal di atas mengenai sikap kepesimisan dan escapis yang berada dalam absurdisitas, Camus pun mengungkapkan bahwa ‘tidak ada jalan lain kecuali menerima absurdisitas dengan menyingkirkan diri atas godaan absurditas tersebut. Misalnya, bunuh diri yang mungkin saja menjadi sesuatu yang sangat menggiurkan bagi mereka yang telah mengalami kepesimisan dalam menghadapi sebuah keabsurditasan. Albert Camus sendiri pada dasarnya jelas sekali dalam menolak bunuh diri. Karena harus disadari, bahwa ada sesuatu hal yang terjadi ketika bunuh diri itu dilakukan, yakni mengenai kondisi individu yang akhirnya menyerah pada absurditas. Hal ini tentunya akan menghapuskan segala kemungkinan untuk bisa hidup lebih manusiawi lagi. Demi mengatasi permasalahan yang muncul dalam kepesimisan individu menghadapi absurdisitas, Camus mencetuskan sebuah gagasan mengenai ‘Manusia pemberontak’. Camus ingin mengajak manusia mengatasi masalah absurditas. Bahkan, ketika telah muncul anggapan bahwa ‘Tuhan telah mati’ lantas dunia dikatakan sesuatu yang sangat absurd, Camus berkata bahwa manusialah yang saat ini harusnya berjuang. Seperti dalam analogi sisifus yang selalu berupaya mendorong batu besar itu menuju puncak, dan ketika batu itu turun ke bawah maka sisifus harus kembali mendorong batu itu ke atas. Upaya yang sangat absurd karena sesungguhnya tidak ada yang lebih mengerikan dari pekerjaan yang tidak berguna dan nyaris tanpa harapan tersebut. Meski begitu tiap individu perlu menumbuhkan sebuah sikap optimis dalam menghadapi kenyataan di dunia yang sangat absurd ini dan tidak jatuh ke dalam bentuk-bentuk dari kepesimisan maupun bunuh diri. Pembahasan mengenai sollipsisme juga menarik untuk dikupas lebih lanjut. Pemikiran bahwa individu manusia tidak memiliki dasar untuk bisa percaya mengenai hal apapun kecuali atas dirinya sendiri. Pikiran dari diri sendiri menjadi satu-satunya kesadaran yang berarti hingga problematika yang muncul, yakni adanya kemungkinan untuk meniadakan subjek yang lain. Setelah wacana mengenai sollipsisme ini dimunculkan lantas seharusnya bukankah tidak ada lagi yang harus dipedulikan mengenai subjek yang lain? Bukankah dengan sollipsisme kita bisa meniadakan subjek yang lain. Padahal dalam kenyataannya ada sesuatu hal yang tidak bisa dinegasikan dari kehidupan manusia, yakni bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, manusia berada dalam lingkup subjek lain yang tidak bisa ditiadakan keberadaannya. Keadaan ini akan menunjukkan kepada kita betapa absurdnya fenomena ini. Ketika sesuatu tidak lagi bisa dipercaya atas subjek yang lain atau ketika suatu subjek memiliki kemampuan untuk meniadakan subjek lain, lantas bagaimana dengan paham manusia sebagai makhluk sosial dimana kehidupan manusia selalu bergantung dengan individu yang lain? Begitu juga halnya ketika menulis bahan tentang sollipsisme dan diberikan kepada individu lain sebagai bahan penilaian. Bukankah ini absurditas yang terjadi dalam sollipsisme? Ketika memiliki kemungkinan untuk meniadakan subjek lain, tapi kenapa justru memberikan kesempatan pada subjek lain untuk bisa hadir dengan cara menyampaikan bahan tentang sollipsisme. Bukankah ini adalah bentuk dari sebuah pengakuan atas subjek yang lain?. Ketika subjek menulis bahan mengenai sollipsisme dan menyampaikan bahan tersebut pada subjek yang lain sebagai salah satu tugas, maka sebenarnya subjek tersebut telah terjebak dalam konsep sollipsisme itu sendiri, karena seharusnya justru dengan ia menyampaikan bahan yang dimiliki pada subjek yang lain maka Ia telah memberikan kesempatan pada subjek yang lain untuk bisa hadir yang notabene bertentangan dengan sollipsisme itu sendiri. Di sinilah letak absurditasnya, ketika memberikan kesempatan atas pengakuan terhadap subjek lain, padahal dalam sollipsisme jelas dikatakan mengenai kemungkinan adanya peniadaan atas subjek yang lainnya -Tika Sylvia Utami- Communication Specialist|Feature Reporter Magazine| Graduate from Philosophy,UniversitasIndonesia|Writing,editing,journalism|Blogger| Contributor Life Style|Violet|Organize|Philosophy

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun