Mohon tunggu...
Tigaris Alifandi
Tigaris Alifandi Mohon Tunggu... Teknisi - Karyawan BUMN

Kuli penikmat ketenangan. Membaca dan menulis ditengah padatnya pekerjaan | Blog : https://tigarisme.com/ | Surel : tigarboker@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menjelang Hajatan (Bagian 3), Berdiri di Dua Kaki

15 April 2019   19:42 Diperbarui: 15 April 2019   20:08 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Desember 2017, sekuat apapun Setya Novanto bertahan pasti akan lengser pula. Berbagai kasus yang menimpa Setnov tentu merugikan Golkar. Memperburuk citra partai berlambang pohon beringin itu. Dan pada akhirnya, Airlangga Hartarto menjadi pengganti Setya Novanto untuk menahkodai Golkar menghadapi pemilu 2019.

Rapat Pimpinan Nasional dengan tegas mendeklarasikan ulang dukungan Golkar kepada calon petahana, Joko Widodo, tanpa syarat. Ini sebagai pembuktian loyalitas Golkar terhadap Jokowi, meskipun tampuk kepemimpinan beralih dukungan tak berubah.

Partai Demokrat pun masih meraba-raba situasi pada detik-detik akhir. Mendekat kepada dua kubu, negosiasi politik yang alot. Menawarkan putra mahkota menjadi cawapres. Kepada Jokowi dan Prabowo. Kalaupun tidak jadi cawapres, setidaknya jadi tokoh penting koalisi. Begitu strategi SBY menjebloskan AHY langsung kepada level teratas pentas politik nasional.

Hingga akhirnya memutuskan dengan tidak bulat mendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Tampaknya AHY belum menjadi sosok berharga yang diincar King Maker macam Prabowo dan Megawati.

Ada satu kesamaan dua partai besar tersebut sekarang : Berdiri di dua kaki, sulit mencalonkan capres dari kader sendiri.

Sikap Golkar yang terkesan berdiri di tengah bukan sekali ini terjadi. Berkali-kali. Pemilu 2004 mereka mencalonkan Wiranto dan Sholehudin Wahid. Sekaligus menempatkan Jusuf Kalla, salah satu tokoh besar mereka, menjadi cawapres dari SBY, disengaja ataupun tidak.

Pemilu 2009 mencalonkan Jusuf Kalla dan Wiranto, namun pada akhirnya merapat ke kubu pemerintah setelah JK-Wiranto tersisih dalam putaran pertama. Mendapat jatah kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2.

Pemilu 2014, di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie secara resmi mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sembari menempatkan beberapa tokoh penting di pihak seberang, JK sebagai cawapres Jokowi, dan Luhut Panjaitan sebagai pendukung loyal Jokowi.

Arah dukungan mulai berubah ketika Koalisi Merah Putih mulai goyah. Tawaran kursi menteri tampaknya menggiurkan, bagi Golkar, PPP dan PAN yang mulai akrab dengan kubu yang berkuasa. Sempat muncul perpecahan di Golkar dan PPP saat itu, yang kemudian didukung oleh SK KemenkumHAM yang mengesahkan kepengurusan pro-pemerintah. Dimana KemenkumHAM memang aneh saat itu, hingga sekarang.

Ketika Golkar bersatu dan menobatkan Setya Novanto, politikus ulung kenyang pengalaman, sebagai ketua umum. Saat itulah angin dukungan berubah. Tampaknya setelah menimbang banyak hal, ya lebih menguntungkan mendukung pemerintah. Mendapat kursi menteri, plus gengsi posisi ketua DPR yang aman, silih berganti dari satu kader ke kader yang lain. Setya Novanto kepada Ade Komarudin, kembali kepada Setnov lagi, hingga sekarang diduduki oleh Bambang Soesatyo.

Dan pada pemilu tahun ini, ada seorang pengusaha terkemuka. Tokoh Golkar, masih ada hubungan kekeluargaan dengan Jusuf Kalla, wapres yang mendukung Jokowi. Erwin Aksa, yang terang-terangan mendukung Prabowo-Sandi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun