Mohon tunggu...
Tigaris Alifandi
Tigaris Alifandi Mohon Tunggu... Teknisi - Karyawan BUMN

Kuli penikmat ketenangan. Membaca dan menulis ditengah padatnya pekerjaan | Blog : https://tigarisme.com/ | Surel : tigarboker@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menjelang Hajatan (Bagian 1): Awal Baru Pemilu

10 April 2019   19:46 Diperbarui: 10 April 2019   19:58 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ada beberapa hal tidak penting yang harus saya tulis, menjelang pemilu ini. Detik-detik akhir. Pas untuk menulis berbagai uneg-uneg saya, dan pandangan pribadi terhadap pemilu serentak 2019 ini. Yang akan digelar 7 hari setelah saya tulis bagian pertama tulisan ini. Beberapa hari ke depan akan ada kelanjutan dari seri tulisan saya, "Menjelang Hajatan", menyambut pesta demokrasi penentu arah bangsa lima tahun ke depan.

Seperti yang kita tahu semua, Pemilu 2019 berbeda dari semua pemilu yang digelar sebelumnya. Ini karena pemilihan anggota legislatif dilaksanakan serentak dengan pemilihan presiden. Setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan yang diajukan Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Lima tahun lalu.

MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materi UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, untuk penerapannya ditunda pada pemilu berikutnya, tahun 2019. Hal ini karena pemilu 2014 telah direncanakan dengan sangat matang, sehingga dikhawatirkan terjadi kekacauan dan ketidakpastian hukum jika diaplikasikan saat itu juga. Kekacauan politik dan hukum sudah jelas tidak dikehendaki semua pihak, juga bertentangan dengan UUD 1945.

Juga karena jangka waktu yang mepet. Pemilu akan membutuhkan sebuah perangkat hukum baru yang komprehensif sesuai putusan MK. Jika tetap dipaksakan serentak namun menggunakan aturan lama, maka pemilu akan kehilangan legitimasi dan dampaknya akan meluas kepada keabsahan pemerintah pula. Seperti yang diterangkan dalam risalah putusan MK saat itu.

Sementara itu, alasan utama penggugat mendorong pelaksanaan pemilu serentak adalah faktor biaya. Perlu diketahui jika pilpres dan pileg dilaksanakan bersamaan bisa menghemat anggaran sekitar Rp 5 sampai Rp 10 Triliun. Bahkan, perhitungan Arif Wibowo (PDIP) menjelaskan bahwa pemilu serentak bisa menghemat anggaran hingga Rp 150 Triliun.

Tak dapat dipungkiri memang. MK memiliki banyak alasan kuat mengapa pilpres dan pileg harus dilaksanakan serentak. Selain alasan yang sama seperti penggugat, juga didasari fakta bahwa terjadi sebuah negosiasi politik sesaat guna memenangkan calon presiden yang diusung. Hal itu dapat melemahkan posisi presiden dalam pemerintahan kelak akibat kesepakatan taktis yang menjadi konsekuensi jika terpilih.

Padahal, politik dagang sapi masih berlangsung. Sampai sekarang. Meskipun pemilu dilaksanakan serentak pula. Sistem presidensial, sesuai namanya, menekankan kekuatan politik besar kepada presiden. Di sisi lain, lobi politik diperlukan guna mencegah adanya halangan (barrier) di parlemen yang bisa menghambat jalannya pemerintahan. Dagang sapi pun tak dapat dihindari. Wajah parlementer dalam presidensial.

Sesungguhnya presidential threshold lah yang menciptakan kondisi presidensial rasa parlementer ini. Akan tetapi, presidential threshold juga bagus, bagi stabilitas politik. Apalagi dalam situasi dimana banyak parpol yang menjadi peserta pemilu. Setidaknya mencegah munculnya 16 pasangan capres-cawapres pada 2019, sesuai dengan jumlah parpol yang ikut pemilu jika diasumsikan setiap parpol memiliki jagoan sendiri.

Bisa dibayangkan, jika paslon terpilih berasal dari partai yang tidak lolos ambang batas parlemen yang pada pemilu ini naik menjadi 4%. Pemerintah kesulitan menembus parlemen, mengingat fakta bahwa undang-undang dibuat bersama dengan DPR dan atau DPD. 

Stabilitas pemerintahan diragukan. Meskipun pemerintahan tak akan bisa dijatuhkan secara politik sekarang. Tapi, perlu dicatat bahwa pemerintah dengan koalisi politik yang lemah akan mengalami hambatan parlemen yang mengganggu jalannya visi-misi pembangunan yang telah dirancang. Setidaknya periode pertama SBY menjadi gambaran yang paling realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun