Mohon tunggu...
Tiffany Pryanka Andini
Tiffany Pryanka Andini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Faculty of Law UGM.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kemenangan di Atas Kertas: Justice Delaying dalam Perkara Eksekusi Putusan Perdata

27 Maret 2024   12:00 Diperbarui: 27 Maret 2024   12:06 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Seruan "justice delayed is justice denied" atau "keadilan yang ditunda sama dengan penyangkalan terhadap keadilan" menjadi tidak terlepaskan dalam polemik pelaksanaan putusan perdata. Bagaimana tidak, proses pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pada tataran praktisnya kerap menemui berbagai hambatan. Poin kemenangan dalam perkara perdata sejatinya baru dapat tercapai apabila pihak yang dikalahkan telah menjalankan suatu putusan tersebut secara sukarela. Namun, pada kondisi tertentu dan tak terduga, pihak yang dikalahkan tidak bersedia atau tidak beritikad baik untuk menjalankan suatu putusan, sehingga pokok perkara menjadi belum tuntas. Dalam hal ini, proses pelaksanaan putusan menjadi rumit dan panjang, sehingga pihak yang dimenangkan mengalami suatu penundaan ketuntasan suatu perkara yang dipandang merugikan.

Jalan panjang nan kompleks pelaksanaan putusan perdata tidak berhenti sampai di situ. Agar hak-hak pihak yang dimenangkan dapat dijalankan sesuai dengan putusan pengadilan, proses pelaksanaan putusan dalam ranah acara perdata masih dimungkinkan dilakukan dengan cara eksekusi yang sifatnya penghukuman (condemnatoir). Eksekusi putusan, dapat disebut juga permohonan pelaksanaan putusan yang dimohonkan oleh pihak pemenang perkara atau Pemohon eksekusi. In casu a quo, adanya "termin" lain dalam mengusahakan pelaksanaan putusan perdata melalui eksekusi putusan sebetulnya memunculkan suatu paradigma dilematis, bahwasannya pihak pemenang perkara yang juga sebagai pihak Pemohon eksekusi putusan, dianggap memikul suatu beban ganda (double burden). Ibaratnya, pihak pemenang dalam perkara masih harus memperjuangkan kembali pemenuhan hak-haknya dengan memohonkan suatu eksekusi putusan hanya karena pihak yang kalah tidak mau memenuhi amar putusan.

Pada tataran praktis, proses eksekusi putusan cukup memakan waktu, dari mulai dilakukannya teguran (aanmaning) kepada Termohon eksekusi terlebih dahulu sebelum pelaksanaan eksekusi, sampai adanya probabilitas bahwa Termohon akan menunjukkan reaksi permintaan penundaan eksekusi. Permohonan penundaan ini acap kali tidak didasarkan pada legal standing yang proaktif dan relevan, sehingga kesannya hanya akan mengulur waktu pelaksanaan eksekusi. Sederet problematika dalam proses eksekusi putusan perdata ini dipandang akan kontradiktif dengan penyelenggaraan peradilan yang berkeadilan. Penundaan dalam eksekusi putusan pengadilan ini dapat bermuara pada penundaan keadilan atau justice delay yang mengingkari asas kepastian hukum.

Polemik Kemenangan Hitam Di Atas Putih
Terminologi "kemenangan hitam di atas putih" menjadi relevan ketika dihadapkan dalam kenyataan bahwa pelaksanaan putusan acap kali sangat sulit dicapai. Perlu dimengerti bahwa suatu putusan perdata tidak bermakna apapun sebelum esensi dari tuntutan hak yang tertuang dalam putusan telah dijalankan oleh pihak yang dikalahkan. Kemenangan yang nyata baru dapat dicapai setelah hambatan dan rangkaian proses pelaksanaan putusan telah dijalankan sesuai dengan amar putusan. Sudah menjadi  "rahasia publik" bahwa pelaksanaan putusan dalam praktiknya mengandung proses yang panjang dan melelahkan, dengan mengorbankan waktu, biaya, tenaga, serta pikiran. Kendala pelaksanaan putusan a quo tidak lain dipengaruhi oleh berbagai penangguhan atau penundaan pelaksanaan putusan pengadilan yang sejatinya telah inkracht.

Salah satu anasir terbesar yang menghambat pelaksanaan putusan adalah sulitnya pihak yang kalah untuk menerima kekalahannya serta beritikad baik untuk segera melaksanakan isi putusan dengan cara sukarela. Meskipun putusan pengadilan telah melekat kekuatan eksekutorial, berbagai macam dalih acap kali dilontarkan guna menghindari pelaksanaan putusan. Pelaksanaan putusan dengan upaya paksa melalui permohonan eksekusi memang dimungkinkan pula, tetapi prosesnya tidak kalah sulit dan panjang.  Oleh karena itu, sebetulnya untuk dapat dikatakan "memenangkan" suatu perkara, putusan tidak cukup hanya di tuliskan di atas kertas saja, tetapi harus dapat dilaksanakan. Dikarenakan sulitnya eksekusi putusan dalam bingkai realitas yang ada, keadilan dan kepastian hukum menjadi suatu cita utopis semata yang diharapkan oleh para pencari keadilan.

Telaah Kritis Hambatan Eksekusi Putusan Perdata
"Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant", sesuatu dinyatakan sempurna apabila setiap bagiannya komplit. Merelevansikan dengan adagium a quo, suatu penundaan pelaksanaan putusan menunjukkan adanya imperfeksi dalam proses pelaksanaannya yang seharusnya dapat melegitimasi kemenangan salah satu pihak yang berperkara.  Dimensi permasalahan utama yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan eksekusi putusan secara condemnatoir, antara lain:

Pertama, terdapat beberapa putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak dapat dieksekusi (non-executable). Misalnya saja putusan declaratoir berupa pernyataan hakim yang dituangkan dalam putusan dan putusan constitutief berupa putusan yang bersifat menimbulkan atau meniadakan keadaan hukum baru. Selain itu, ada pula putusan yang di dalamnya menyatakan suatu barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan amar putusannya, ataupun objek dari eksekusi putusan tidak berwujud, tidak jelas, telah musnah, objeknya berada di luar negeri, serta telah menjadi objek milik negara. Putusan yang dinyatakan non-executable oleh Ketua Pengadilan Negeri juga dinilai sebagai putusan yang tidak dapat dieksekusi.

Kedua, penundaan eksekusi putusan. Pada dasarnya, eksekusi putusan perdata merupakan skema lanjutan dari pelaksanaan putusan secara sukarela yang dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, jika pihak yang dikalahkan tidak menjalankan putusan secara sukarela, artinya tahapan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah permohonan eksekusi putusan atas pihak yang dikalahkan. Dalam prosesnya, akan dikirimkan teguran (aanmaning) selama 8 (delapan) hari sebelum melakukan eksekusi putusan sebagai suatu upaya paksa. Namun, sangatlah tidak menutup kemungkinan adanya reaksi Termohon untuk memintakan penundaan eksekusi. Ratio legis yang diungkap oleh Termohon untuk menunda eksekusi seringkali tidak cukup kuat, sehingga rasanya hanya difungsikan sebagai alat intervensi untuk menunda pelaksanaan eksekusi. Intervensi yang demikian rasa-rasanya hanya akan mengulur waktu dan menghambat jalannya pelaksanaan putusan semata.

Ketiga, penolakan eksekusi putusan. Selain permintaan untuk menunda eksekusi putusan, permasalahan eksekusi yang sering dihadapi adalah mengenai penolakan terhadap eksekusi putusan, antara lain Termohon eksekusi menolak dengan alasan adanya ketidaksesuaian objek dengan amar putusan, tidak sesuai dengan eksepektasi, amar putusan dianggap kurang jelas, serta adanya penolakan eksekusi putusan dengan alasan-alasan tertentu.

Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan pengadilan perdata yang berkekuatan hukum tetap, baik secara sukarela maupun melalui permohonan eksekusi putusan perlu dipandang sebagai permasalahan krusial, sehingga penyelesaian terhadapnya merupakan amanat yang mendesak. Reformasi terhadap permasalahan struktural yang menjadi polemik pelaksanaan putusan pengadilan perlu diagendakan, sehingga implementasi dan pelaksanaan putusan selaras dengan arah manifestasi hukum yang berkeadilan dan berkepastian. Pembentukan unit khusus dalam badan Mahkamah Agung juga dipandang substansial, sebab pengabaian terhadap konstruksi hukum pelaksanaan putusan hukum acara perdata justru akan berakibat pada penundaan terhadap keadilan (justice delaying) dan penyangkalan terhadap keadilan (justice denying).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun