Mohon tunggu...
Kurnia Nasir
Kurnia Nasir Mohon Tunggu... Musisi - musikus jalanan

musikus jalanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesetaraan Gender, Jangan Tambah Mundur

26 April 2024   20:18 Diperbarui: 26 April 2024   20:25 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tahu bahwa RA Kartini hidup pada awal abad 19 (sekitar tahun 1890-an) . Beberapa tahun sebelumnya, pemerintah Kolonial Belanda menerapkan politik (Etika)  Balas budi yang salahsatu programnya adalah pendidikan. Pada saat itu pendidikan untuk bumi putera (warga asli Nusantara) mulai diterapkan. 

Politik etika itu muncul setelah salahsatu legislator di Belanda mengajak pemerintah Belanda memperhatikan  beberapa negara jajahan mereka yang hidupnya menyedihkan. Padahal negara-negara itu termasuk Nusantara (Indonesia) sudah membuat negara Belanda kaya raya karena perdagangan rempah-rempah sejak zaman VOC.

Pendidikan untuk bumi putera sebenarnya diperiuntukkan untuk semua anak usia sekolah. Namun ada pembeda antara perempuan dan laki-laki. Perempuan hanya terbatas bisa meneruskan pendidikan sampai ongko loro saja. Alasannya, budaya dan kebiasaan waktu itu, perempuan biasanya hanya akan di rumah saja dan tidak disiapkan untuk bekerja atau menjadi profesional tertentu. 

Karena itu sekolah ongko loro (setara kelas dua SD) dinilai cukup untuk perempuan untuk sekadar bisa membaca dan menulis. Jika sang perempuan akhirnya harus berdagang , dia hanya bisa membaca secara terbatas dan menghitung sekadarnya.

Berbeda dengan laki-laki yang bisa meneruskan ke jenjang tertinggi, meski masih tersekat-sekat juga (artinya apakah ybs adalah keturunan priyayi atau tidak) namun aroma patriarkhi sangat kental. Budaya partiarkhi inilah yang dikritik oleh Kartini dalam surat-suratnya kepada stela, sahabat kartini yang merupakan warga Belanda yang kemudian kembali ke negaranya.

Jika kita membaca surat-surat Kartini yang sebagian berisi kritik-kritik dan kegundahannya terhadap apa yang ada di sekelilingnya, kita bisa merasakan bahwa apa yang dipersoalkan Kartini adalah kesetaraan yang harus dia hadapi. Situasi ini berbeda dengan yang dialami Stella yang hidup di Belanda dimana kesetaraan sudah didapat.

Disisi lain, dalam beberapa suratnya juga terlihat punya kegundahan terhadap prktik agamayang cenderung korup dan ternyata berlangsung satu abad setelahnya, atau sama saja dengan saat ini.

"Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Maha Esa," demikian petikan kira-kira surat Kartini pada Stella, 6 November 1899.

Ini juga yang menunjukkan bagaimana sang kartini fokus pada kesetaraan dan bukan pada agama dan memecah-mecahkan umat. Ini penting bagi kita saat ini yang hidup pada masa kesetaraan sudah didapat tapi masih mempersoalkan suku agama dan ras. Itu sama saja mundur beberapa ratus tahun lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun