Mohon tunggu...
Kurnia Nasir
Kurnia Nasir Mohon Tunggu... Musisi - musikus jalanan

musikus jalanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seharusnya Kita Dewasa dalam Hal Perbedaan

26 Januari 2023   21:16 Diperbarui: 26 Januari 2023   21:20 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Gejolak politik dan resesi ekonomi tahun 1998 yang melanda Asia mungkin tak terlupakan bagi sebagian kita. Paling tidak secara ekonomi, negara yang paling terkena dampak adalah Indonesia dan Thailand.

Gejolak politik nasional pada zaman itu tak kalah seru. Pemimpin negara yang sudah 32 tahun berkuasa dipaksa oleh rakyat untuk turun melalui gelombang demo besar-besaran. Ekonomi yang terpuruk dan gaya kepemimpinan rezim yang represif menjadi sebab utama kenapa masyarakat marah dan melampiaskan kemarahan itu kepada pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh rezim Orba.

Pembakaran dan penjarahan pusat perbelanjaan dan rumah-rumah orang keturunan Tionghoa dilakukan dengan massif, tidak hanya di Jakarta, tapi juga Yogya dan beberapa kota lainnya. Begitu juga toko-toko mereka. Banyak toko yang habis dijarah tak bersisa, atau dibakar. Begitu juga para wanita Tionghoa yang menurut beberapa sumber diperkosa oleh orang yang tak bertanggungjawab.

Teriakan dan ujaran kebencian kepada etnis Tionghoa menyeruak seketika itu. Beberapa warga Indonesia (asli) yangpunya hubungan baik atau berempati dengan warga Tionghoa, menampung mereka selama beberapa saat menunggu situasi kondusif.

Lalu ada gelombang orang Indonesia keturuanan Tionghoa keluar dari Jakarta (utamanya) . Sebagian mereka pindah ke Bali yang dianggap lebih aman dan tidak rasis. Sebagian pindah ke Australia, Amerika Seikat (AS) atau Singapura. Para warga keturunan ini sudah menganggap Indonesia tidak aman lagi bagi mereka kala itu, dan demi masa depan anak-anak mereka, pindah ke tempat di mana mereka anggap lebih aman.  Masa itu adalah masa kelam bagi warga Indonesia keturunan Tionghoa, dan kemunduran bagi toleransi yang saat itu juga sudah dibangun.

Kini sekitar 25 tahun setelah masa itu berlalu, kita masih saja dihadapkan pada kebencian ras dan sectarian kepada teman-teman kita warga Indonesia keturunan Tionghoa. Kini pengsik utamanya adalah kekuasaan. Contoh yang paling nyata adalah Gubernur Jakarta kala itu yang diusik dengan alasan penghinaan agama. Meski berprestasi dan banyak hal yang terselesaian di Jakarta, Namun dia gagal menjadi gubernur dan dipenjara selama dua tahun. Di sisi lain, persoalan pengutipan akhirnya tidak terbukti. Namun mantan gubernur keturunan Tionghoa itu tetap mendekam di penjara.

Reformasi dan beberapa masa setelahnya seharusnya membuat kita dewasa dalam melihat  perbedaan. Jangan sampai karena hal kecil dan pendek seperti meraih kekuasaan membuat kita kerdil dalam hal memandang pluralisme. Kita adalah negaa bsar dan jiwa kita seharusnya juga besar dalam hal perbedaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun