Mohon tunggu...
Kurnia Nasir
Kurnia Nasir Mohon Tunggu... Musisi - musikus jalanan

musikus jalanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Terpancing Polarisasi

1 Januari 2021   23:51 Diperbarui: 1 Januari 2021   23:55 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang tidak sadar bahwa persoalan besar dari bangsa Indonesia saat ini adalah soal polarisasi dan keberagaman. Banyak orang tidak sadar bahwa Indonesia memang ada berdasarkan perbedaan yang berjumlah ribuan. Saat Indonesia dibentuk oleh para Founding Fathers, keberagaman adalah salah satu modal disamping beberapa hal lainnya. Keberagaman itu tak hanya agama, tapi juga bahasa lokal, warna kulit dan ribuan etnis.

Bagi orang asing yang melihat kebudayaan Indonesia, keberagaman ini adalah anugerah dan kekayaan tersendiri. Karena tidak saja menjadi identitas, tapi bisa dinikmati oleh para wisatawan sembari menikmati alam dan kuliner yang mereka miliki. Kita lihat saja kebudayaan bangsa Thailand yang beragam tapi tak sebanyak keberagaman Indonesia, mampu memikat jutaan wisataan dan membuat mereka datang kembali.

Namun ternyata keragaman dan kekayaan itu tidak terkelola dengan baik, sehingga polarisasi yang berbasis perbedaan keyakinan menjadi duri dalam daging selama bertahun-tahun. Media sosial yang mulai populer di Indonesia sejak tahun 2010 turut menjadi factor penting memperparah polarisasi itu.

Selama nyaris sepuluh tahun, setiap ada peristiwa politik, rakyat banyak terpancing dengan ujaran kebencian yang dilontarkan oleh beberapa orang atau tokoh, termasuk tokoh agama dan politik. Politik yang merupakan seni dan ilmu tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik karena hanya dipakai untuk meraih kekuasaan. .

Begitu juga dengan agama yang seharusnya agung dan behubungan dengan dua hal yaitu hubungan vertical dengan Yang Maha Esa dan horizontal yaitu dengan sesama, sudah banyak ditunggangi dengan berbagai kepentingan. Kepentingan itu tidak saja ekonomi tetapi juga politik praktis yang ujungnya adalah kekuasaan dan ekonomi.

Pancingan ujaran kebencian itu dilontarkan secara massif dan dipelihara karena berlangsung sangat lama (nyaris 10 tahun ini, meski pilpres dan pilkada sudah berlalu) akhirnya membentuk pola pikir dikotomik, yaitu anti pemerintah dan pro pemerintah. Atau dikotomi serupa yaitu agama A dan non A. bahkan menimbulkan fanatisme berlebihan akhirnya yang muncul adalah tindakan yang didasarkan atas dendam dan fanatisme buta.  Contoh yang paling terlihat adalah FPI yang dibubarkan pemerintah akhirnya membentuk polarisasi yang seakan memojokkan pemerintah atas keputusannya itu.

Memasuki tahun yang baru yaitu 2021, tentu kita punya harapan besar dan tinggi  atas kehidupan dan suasana yang lebih baik lagi dibanding tahun sebelumnya. Kita semua seharusnya punya energy dan semangat untuk mengentikan polarisasi itu. Penting bagi kita untuk membersihkan nurani dan media sosial yang kita miliki dari narasi yang menunjang polarisasi itu.

Jika bangsa lain bisa, kita juga harus bisa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun