Pada sebuah media, dua orang korban bom Bali bernama Theolina Marpaung dan Jatmiko pernah mengemukakan kegetiran dan luka batinnya pasca bom Bali pertama pada tahun 2002. Dua ledakan pertama terjadi di hiburan malam Paddy's Pub dan Sari Club di wilayah Legian Bali. Ledakan ketiga pada rangkaian bom itu, terjadi di dekat Konsulat Amerika Serikat.
Korban bom Bali (selanjutnya disebut penyintas) mengalami hal memilukan. Keduanya harus menjalani perawatan medis akibat bom itu. Theolina harus mengganti retina mata karena terkena pecahan kaca. Jatmiko mengalami cacat fisik  dan tak bisa bekerja seperti semula.Â
Kejadian itu mengubah hidup mereka; dari terang menjadi kelam. Pekerjaan sulit mereka dapatkan karena cacat itu. Kehidupan mereka juga tak menentu. Â Selain itu bayangan kejadian itu sulit mereka hilangkan dari benak. Itu yang ditengarai sebagai beban utama yang menghalangi langkah untuk maju.
Akhir bulan Februari lalu, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) mengupayakan rekonsiliasi antara pelaku terorisme (pelaku bom, penyerangan dengan teror dan sebagainya) dengan sejumlah peyintas terorismr. Sekitar 120 pelaku dan 51 orang peyintas hadir di momentum itu. Memang, tidak semua pelaku dan peyintas bisa hadir sebagian karena kondisi kebatinan mereka belum siap. Tapi langkah ini adalah upaya positif untuk mengurangi beban kedua belah pihak.
Kepala BNPT Suhardi Alius - pemrakarsa acara yang disebut Silaturahmi Kebangsaan NKRI yang disingkat Satukan NKRI itu, mengharapkan dengan adanya pertemuan antara pelaku dan penyintas teror di Indonesia, beban penyintas dan pelaku bom menjadi lebih ringan. Â Dengan beban batin yang lebih ringan itu, keduanya bisa menatap masa depan dengan lebih jernih dan bening. Karena maaf itu, mendamaikan suasana batin, meringankan langkah ke depan.
Selain mempertemukan, pemerintah juga memfasilitasi korban dalam perjuangannya mendapat kehidupan yang lebih baik. Sebagian biaya akan ditanggung pemerintah dalam upaya perbaikan kondisi mereka. Bagi pelaku teror itu bisa memperingan beban mereka atas bayang-bayang rasa bersalah atas hal-hal yang mereka buat dan membuat orang lain sengsara bahkan tewas.
Memang itu tidak bisa mengembalikan suasana penyintas untuk sama dengan sebelum mengalami teror bom dan kejadian terorisme, tapi paling tidak, negara hadir untuk mendampingi mereka. Para pelaku juga diberi kesempatan untuk minta maaf kepada korban atas yang mereka lakukan.
Ini satu langkah yang baik untuk tiga pihak ; negara , pelaku dan penyintas. Karena hakekatnya memaafkan itu membawa damai untuk semua.